JAKARTA,WOL – Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil Opinion Makers Survei mengenai Undang-undang Pemilu. Dari empat undang-undang pemilu, mayoritas responden setuju terdapat tumpang tindih antara keempat UU tersebut.
Peneliti LSI Rizka Halida mengatakan, ketumpangtindihan terdapat pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. Tumpang tindih juga terjadi pada UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
“Mayoritas responden percaya bahwa UU Pemilu yang ada tidak jelas dan hal isu-isu kunci, seperti peraturan keuangan kampanye dan pengawasan proses pemilu,” kata Rizka di kantor Komisi Pemilihan Umum Pusat, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Minggu (16/10).
Dia menjelaskan, pakar cenderung mendukung adanya satu UU Pemilu sebagai payung hukum pemilu di Indonesia. Keempat udang-undang pemilu yang ada sekarang cenderung inkonsisten.
Dia mengungkapkan, ada sejumlah masalah utama dalam UU Pemilu. Beberapa di antaranya kurangnya penegakan hukum dan pengulangan dalam UU pemilu serta peraturan yang tak jelas terkait proses pencalonan.
“Kurangnya penengakan hukum menjadi masalah yang paling banyak disebut terkait UU pemilu,” ujarnya.
Rizka juga mengungkapkan, mayoritas responden mendukung transparansi pengawasan keuangan kampanye dan partai politik. Responden setuju dengan penambahan laporan keuangan yang terstandarisasi, pembatasan pengeluaran kampanye, dan pembatasan donasi.
Selain itu, proses penghitungan manual surat suara di depan publik menjadi faktor yang membuat pemilu transparan. Namun, masih terdapat kekhawatiran mengenai transparansi di bagian lain proses penghitungan suara, seperti rekapitulasi hasil penghitungan.
Kebanyakan pakar cenderung setuju penerapan teknologi baru, seperti rekapitulasi hasil elektronik dan sistem pendaftaran pemilu yang terpusat dapat meningkatkan transparansi.
Sementara itu, soal keterwakilan perempuan, kebanyakan pakar yang disurvei tidak puas dengan proporsi perempuan di badan-badan legislatif dan lembaga pemilu di Indonesia.
“Mayoritas mendukung kuota 30 persen staf perempuan di lembaga pemiilu seperti KPU dan Bawaslu, serta legislatif,” tutur dia.
Survei dilakukan dengan mewawancarai 216 pakar pemilu dan hukum yang mewakili akademisi, masyarakat sipil, media di sejumlah daerah yakni Aceh, Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Survei dilakukan untuk merekam opini para ahli yang berpengalaman sebagai praktisi, peneliti, maupun pengamat pemilu Indonesia tentang empat UU Pemilu di Indonesia saat ini.
Survei dilaksanakan pada 8 Februari hingga Maret 2016 dengan metode purposive sampling digunakan untuk memilih responden. Survei ini juga diusahakan untuk menyesuaikan jumlah responden perempuan dan laki-laki (37 persen perempuan, 63 persen laki-laki).
(metrotvnews/data3)
Discussion about this post