JAKARTA,WOL – Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Melbourne, Australia diterobos masuk oleh pria tak dikenal. Lelaki itu memanjat tembok dan naik ke atap lalu memajang bendera Bintang Kejora khas Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Aksi tersebut terekam dalam video berdurasi 2 menit 36 detik, yang diunggah akun Izzy Brown, Jumat (6/1). Dalam akun Facebook pribadinya, Izzy memang kerap mengunggah status berisi dukungan terhadap OPM.
“Hari ini, Bendera Papua Barat terlihat di atas atap Kedutaan Besar Indonesia di Melbourne. Mungkin mereka bersimpati atas masukan di pelatihan militer Australia. Papua Merdeka!” tulis Izzy dalam bahasa Inggris.
Atas kejadian itu, Kementerian Luar Negeri mengecam aksi kriminal pendukung OPM tersebut di KJRI Melbourne, Australia. Apalagi, pelaku juga mengibarkan bendera separatis di perwakilan Indonesia tersebut.
“Pemerintah mengecam keras tindakan kriminal yang dilakukan simpatisan kelompok separatis di KJRI Melbourne,” ujar Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Armanatha Nasir saat dikonfirmasi, Jumat (6/1).
Armanatha, atau akrab disapa Tata, menjelaskan aksi penerobosan itu terjadi sekitar pukul 12.52 waktu setempat. Saat itu, sebagian besar staf KJRI Melbourne tengah melaksanakan ibadah salat Jumat.
Diduga, pelaku terlebih dahulu menerobos apartemen tetangga yang berdiri bersebelahan dengan KJRI, kemudian memanjat pagar tembok setinggi 2,5 meter. Indonesia telah menyampaikan protes sekaligus mendesak aparat kepolisian membekuk dan menghukum pelaku sesuai hukum yang berlaku.
“Pemerintah RI mengingatkan bahwa menjadi tanggung jawab Pemerintah Australia untuk melindungi perwakilan diplomatik dan konsuler yang ada di Australia sesuai dengan konvensi Wina tahun 1961 dan 1963 mengenai hubungan diplomatik dan konsuler. Untuk itu, Pemerintah RI meminta kepada Pemerintah Australia untuk memastikan dan meningkatkan perlindungan terhadap semua properti diplomatik dan konsuler Indonesia,” desaknya.
Kejadian ini hanya berselang beberapa hari setelah Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo memutus kerja sama militer kedua negara. Pemutusan itu dilakukan karena pusat pelatihan pasukan elite AU Australia atau SASR memasukkan kurikulum yang menyudutkan Indonesia, dan hinaan terhadap ideologi bangsa.
Dalam perjanjian kerja sama, TNI mengirim prajurit terbaiknya untuk mengajar. Salah seorang instruktur Bahasa Indonesia yang merupakan anggota Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) atas nama Irawan Maulana Ibrahim merasa ada unsur materi pelajaran menghina Indonesia, terutama materi tentang Pancasila.
Anggota Kopassus itu mengajar Bahasa Indonesia untuk pasukan khusus Australia di sekolah bahasa angkatan darat Australia di Pangkalan Militer Perth. Sebagai negara sahabat tindakan itu dianggap mendiskresikan TNI dan bangsa Indonesia, bahkan ideologi bangsa Indonesia.
“Terlalu menyakitkan sehingga tidak perlu dijelaskan. Tentang tentara yang dulu, Timor Leste, Papua juga harus merdeka dan tentang Pancasila yang diplesetkan jadi Pancagila,” tegas Gatot di Hotel Bidakara, Kamis (5/1).
Gatot mengaku bersahabat dengan Kepala Angkatan Udara Australia Marsekal Mark Binskin. “Akhirnya beliau mengirim surat kepada saya, menyampaikan permohonan maaf. Kedua akan memperbaiki kurikulum,” ujar Gatot di Hotel Bidakara, Kamis (5/1) lalu.
Ketiga akan melaksanakan investigasi. Keempat akan mengirimkan kepala staf angkatan (chief army Australia) kepada Kasat dan Gatot. “Dari empat poin tersebut, karena beliau sahabat saya, saya juga mengirimkan surat,” ungkapnya.
Hubungan Indonesia dan Australia memang beberapa kali mengalami naik dan turun. Bahkan pernah mencapai titik nadir ketika Negeri Kangguru memprovokasi TNI saat lepasnya Timor Timur.
Kejadian penghentian kerja sama pernah terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berawal dari cuitan Edward Snowden, mantan mata-mata AS, yang menyebut aparat Australia pernah menyadap telepon kepala negara dan ibu negara.
SBY marah setelah pemberitaan mengenai penyadapan ramai dibicarakan. Dia segera mengambil langkah tegas dengan menghentikan kerja sama di bidang militer.
“Saya juga minta dihentikan dulu, latihan-latihan bersama antara tentara Indonesia dan Australia, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara, maupun latihan yang sifatnya gabungan,” kata SBY dalam konferensi pers November 2013.
SBY juga menjelaskan, beberapa agenda kerja sama lain yang juga akan dikaji ulang adalah kerja sama pertukaran informasi dan intelijen antara kedua negara, dan penanganan kasus penyelundupan orang.
Namun rupanya PM Tony Abbot tidak juga menyampaikan permintaan maaf terkait penyadapan tersebut. Malah menyebut penyadapan itu adalah untuk kepentingan keamanan negaranya.
Menanggapi perintah Presiden, Panglima TNI kala itu Jenderal Moeldoko merespons keputusan pemerintah. Rangkaian pelatihan yang seharusnya berakhir 24 November dihentikan beberapa hari lebih cepat. Para pilot juga dipastikan kembali ke Tanah Air sebelum tanggal itu.
Sepanjang tahun 2014, publik dikejutkan dengan aksi sepihak yang dilakukan Pasukan Penjaga Pantai Australia. Mereka meyetop, menangkap dan membakar kapal nelayan. Mirisnya lagi, penangkapan itu berlangsung di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, yang berarti telah terjadi penerobosan wilayah teritoral.
Sejumlah nelayan yang rata-rata berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) tak tinggal diam. Mereka mengajukan gugatan dan mendesak pemerintah Australia memberikan ganti rugi untuk mengganti kapal-kapal yang dibakar.
Berkat perjuangan keras di pengadilan, Sahring, seorang nelayan Indonesia asal Oesapa, Kupang, menang di Pengadilan Australia ketika menggugat pemerintah federal negara itu yang membakar perahunya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada 2008.
Greg Phelps, Pengacara Sahring, dalam surat elektroniknya yang diterima di Kupang, Kamis (20/3/2014) lalu, mengatakan kliennya sudah diberi kompensasi sebesar AUD 44.000 oleh pengadilan federal di Darwin, Australia Utara setelah dinyatakan menang dalam gugatan tersebut.
“Ini merupakan sebuah batu ujian bagi pemilik, kapten dan nelayan Indonesia lainnya yang memiliki kasus yang sama dimana perahu mereka disita dan dihancurkan oleh otoritas negara itu,” kata Greg Phelps yang juga pengacara Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang berkedudukan di Darwin, Australia Utara itu.
Aksi penerobosan perbatasan dilakukan aparat militer Australia. Dengan alasan menyerahkan imigran gelap asal Bangladesh, mereka nekat memasuki perairan Indonesia dan menitipkan enam imigran tersebut kepada nelayan untuk diserahkan kepada aparat keamanan.
Bahkan, seorang tentara Australia pernah mengerdilkan peran TNI. Perkataan itu diungkapkan langsung kepada seorang imigran gelap yang mereka tangkap dan digiring hingga mendekati pulau.
“Tentara Australia bilang tentara Indonesia itu kecil. Tidak mampu berbuat apa-apa,” kata Mohamed Abdirashid, 18, imigran asal Somalia. (merdeka/ags/data3)
Discussion about this post