2. Jatuh Bangun Garuda Indonesia
Wiweko Soepomo yang menjabat Direktur Utama Garuda Indonesia pada periode 1968-1984 berhasil melakukan revitalisasi dan rekturisasi di tubuh internal Garuda. Wiweko berhasil memperbaiki layanan dan manajemen di maskapai milik pemerintah tersebut hingga membuat Garuda mampu melebarkan sayapnya dan menjelajah benua Eropa, Asia dan Australia. Di bawah pimpinannnya Garuda berhasil menjadi maskapai pertama yang memakai pesawat Airbus A300B4-600 FFCC dan menjadi maskapai penerbangan terbesar ke 2 di Asia di bawah Japan Airlines.
Pada tahun 1985, estafet kepemimpinan Garuda di bawah Wiweko diberikan kepada R.A.J Lumenta yang berhasil melakukan re-branding mengganti nama Garuda Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesia dan memindahkan pangkalan utama Garuda dari Bandara Halim Perdanakusuma dan Bandara Kemayoran ke Bandara Soekarno-Hatta.
Di bawah R.A.J Lumenta, Garuda juga berhasil merintis rute penerbangan baru Denpasar-Biak-Hawaii-Los Angeles dengan pesawat Douglas DC-10-30 yang merupakan hasil kerja sama Garuda Indonesia dengan maskapai Continental Airlines.
Sayangnya kedigdayaan Garuda perlahan kian memudar. Rentetan peristiwa kecelakaan yang dialami beberapa pesawat yang dioperatori Garuda membuat reputasi perseroan terbuka milik pemerintah ini terus turun di mata masyarakat internasional. Puncaknya saat Garuda mengalami dua musibah kecelakaan di Fukuoka, Jepang dan di Sibolangit, Sumatera Utara.
Peristiwa kecelakaan di Fukuoka, Jepang terjadi pada tanggal 13 Juni 1996 saat pesawat hendak lepas landas meningglkan bandara. Salah satu kipas turbin mesin pesawat dengan nomor penerbangan 856 tersebut pecah yang membuat pilot pesawat membatalkan penerbangan meski pada saat itu pesawat sudah memasuki kecepatan maksimal lepas landas. Akibatnya pesawat meluncur tak terkendali keluar ujung landasan, meledak dan terbakar. Insiden ini menewaskan 3 dari 275 penungpang pesawat. Hasill investigasi menyatakan kecelakaan tersebut terjadi karena adanya kerusakan turbin mesin GE CF6 yang diakibatkan oleh keausan akibat masa pakai. Garuda belum mengganti turbin mesin meski turbin tersebut telah beroperasi selama 30913 jam terbang dan 6182 siklus pendaratan. Padahal pihak General Electrics menganjurkan untuk mengganti turbin setiap pesawat telah melakukan 6000 pendaratan.
Sedangkan kecelakaan di Sumatera Utara terjadi akibat pesawat terbang terlalu rendah di bawah ketinggian yang ditetapkan, yakni 2.000 kaki (610 m). Pesawat dengan nomor penerbangan 152 tersebut menabrak pohon di ketinggian 1.550 kaki (472 m) di atas permukaan laut, jatuh dan meledak 32 km dari Bandara Polinia dan menewaskan seluruh penumpangnya.
Dua kejadian tersebut membuat reputasi Garuda Indonesia turu. Di saat yang bersamaan, krisis finansial melanda sebagian banyak negara di Asia yang membuat keuangan Indonesia tidak stabil. Garuda terpaksa menghapus semua rute penerbangan yang tidak menguntungkan, terutama rute jarak jauh ke Eropa dan Amerika Serikat. Di masa krisis moneter tersebut Garuda nyaris bangkrut hingga akhirnya Presiden Habibie serta Menteri BUMN saat itu Tanri Abeng mengutus Robby Djohan untuk mengawal rekturisasi dan revitalisasi Garuda Indonesia. Di bawah kepemimpinannya Garuda berhasil selamat dari kebangkrutan.
Sempat dilarang terbang ke benua Eropa dan mengalami kerugian terus menerus, Garuda Indonesia akhirnya bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi raja di langit Indonesia. Di masa kepemimpinan Emirsyah Satar, Garuda kembali melakukan revitalisasi dan rekturisasi dengan membuat rencana jangka panjang untuk meningkatkan layanan maskapai. Hasilnya terbukti, pada tahun 2011 melalui seragkaian inspeksi, Garuda kembali diperbolehkan untuk mengangkasa di langit Eropa.
Garuda berhasil meraih beberapa penghargaan di bidang kedirgantaraan seperti ‘The World’s Best Cabin Crew†selama empat tahun berturut-turut, dari tahun 2014 hingga 2017; “The World’s Most Loved Airline 2016” dan “The World’s Best Economy Class 2013†dari Skytrax, lembaga pemeringkat penerbangan independen berbasis di London.
Sayangnya kesuksesan Garuda tersebut harus dibumbui dengan banyak aroma tidak sedap. Bau- bau tak sedap tersebut muncul sejak awal Mei 2018 saat Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) yang berencana melancarkan aksi mogok karena menganggap Direktur Utama Pahala Nugraha Masyuri, Garuda terus dibumbui konflik internal hingga rugi. Sejak 2017, keuangan Garuda terus mengalami turbulensi karena terus mencatat kerugian hingga 283,8 juta dolar AS atau Rp3,77 triliun pada semester I tahun 2017. Kasus korusi yang menimpa mantan Direktur Utama mereka Emisyah Satar yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap pengadaan pesawat, pencucian uang dan mesin pesawat dari Airbud SAS dan Rolls-Royce PLC saat menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia periode 2005-2014. Kasus pelaporan Youtuber hingga larangan foto di kabin pesawat Garuda yang berakibat jatuhnya reputasi Garuda di mata masyarakat Indonesia. Belum lagi kasus penyajian laporan keuangan Garuda tahunan 2018 dan kuartal I 2019 yang dianggap cacat. Akibatnya Garuda harus membayar denda yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mencapai Rp1,25 miliar.
Meski terus diterpa turbulensi sepanjang sejarahnya berdiri, namun hingga saat ini Garuda Indonesia masih menjadi salah satu operator maskapai penerbangan terbaik di Indonesia. Dengan segala pengalamannya mengudara di langit Indonesia, Garuda harusnya mampu berbenah dan kembali menjadi raja di udara Indonesia dan Asia.(wol/rls/data2)
Discussion about this post