JAKARTA, Waspada.co.id – Wacana jabatan presiden tiga periode dinilai mencederai demokrasi. Jika periode jabatan presiden ditambah, Indonesia terancam terjerumus kembali pada absolutisme kekuasaan seperti yang terjadi pada Orde Baru.
“Jabatan presiden tiga periode menciderai demokrasi dan mengkhianati cita-cita reformasi 1998. Pembatasan kekuasaan sudah menjadi pilihan kita dalam berbangsa dan bernegara. Jangan lagi ada wacana itu,” kata Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute Usman Hamid di Jakarta, (17/3/2021).
Menurutnya, wacana jabatan presiden 3 periode membuat situasi demokrasi Indonesia yang saat ini memburuk akan menjadi semakin buruk.
Ada tiga tahap dalam proses kemunduran demokrasi. Indonesia, kata Usman, sudah masuk tahap regresi yang pertama, yaitu berkurangnya kualitas kebebasan berpendapat dan ruang publik untuk kritik dan protes.
Kemunduran kedua sudah mulai dirasakan yaitu melemahnya oposisi partai-partai politik. Prabowo, Sandiaga dan Gerindra sebagai pihak yang kalah dalam Pemilu dan seharusnya menjadi oposisi justru merapat ke istana. Sementara, Partai Demokrat yang sudah menyatakan diri sebagai oposisi tengah dalam kemelut yang melibatkan Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moledoko.
“Melemahnya oposisi dan wacana tiga periode hanya membawa Indonesia ke arah absolutisme kekuasaan. Kalau wacana tiga periode itu benar-benar terjadi, mutu pemilihan umum terancam di ujung tanduk. Bahkan itu bisa mengakhiri masa demokrasi di Indonesia. Tinggalkan wacana itu agar sirkulasi kepemimpinan nasional berlangsung sehat,” ujar Usman yang juga Direktur Amnesty Internasional Indonesia.
Ia menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan menolak dengan tegas wacana jabatan presiden menjadi tiga periode. Ia meminta komitmen Presiden atas sikap penolakannya tersebut.
“Kami juga mendesak para politisi untuk tidak mewacanakan hal tersebut dan fokus pada penanganan pandemi demi kesehatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi warga masyarakat,” kata dia.
Discussion about this post