MEDAN, Waspada.co.id – Komisi II DPRD Medan lakukan pemanggilan terhadap menajemen pihak Rumah Sakit Umum (RSU) Bunda Thamrin di Jalan Sei Batanghari, Selasa (23/3).
Pemanggilan ini disebabkan adanya pengaduan masyarakat mengenai penahanan jenazah seorang pasien inisial AA yang meninggal dunia setelah tujuh hari dirawat di rumah sakit itu akibat menderita penyakit pecah pembuluh darah.
Hadir pada rapat dengar pendapat (RDP) tersebut Ketua Komisi II DPRD Kota Medan Surianto SH (Butong) dan anggota komisi Harris Kelana Damanik. Mewakili Organisasi Perangkat Daerah antara lain, Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan Herbet Gultom, Disnaker Medan Novita Sari Ginting, Dinkes Medan dr Mardohar Tambunan, BPJS Kesehatan Supriyanto serta dari pihak RSU Bunda Thamrin, Hendra Wibowo, dr Herly M.Kes dan dr Purnama Simanjuntak.
Harris Kelana Damanik mengatakan, dia selaku anggota Komisi II DPRD kota Medan sangat menyayangkan sekali mendapati langsung pelayanan rumah sakit Bunda Thamrin yang dinilai terlalu mementingkan bisnis ketimbang nilai-nilai sosial. Padahal, pihak keluarga pasien di tengah kebingungan masih berupaya bagaimana agar AA yang dirawat mendapat pertolongan maksimal.
“Setelah pasien (Alm AA) meninggal dunia, pihak keluarga sepertinya terkendala biaya perawatan almarhumah selama tujuh hari mencapai sampai Rp157 juta dan saat biaya yang sudah dikeluarkan mencapai Rp90 juta. Sehingga, setelah pasien meninggal dunia, maka pihak keluarga diharuskan melunasi kekurangannya, jika ingin jenazah dikeluarkan dan dibawa ke rumah duka,” terang Harris.
Haris juga mempertanyakan hati nurani pihak rumah sakit, ketika pasien tidak mampu membayar biaya rumah sakit. “Untung saja, pasien orang mampu. Bagaimana jika yang dirawat orang tidak mampu, apa pihak rumah sakit tetap ngotot agar pasien harus membayarkan,” tambahnya.
Ketua Komisi II DPRD Medan Surianto pada kesempatan itu melihat adanya pelayanan yang tidak maksimal terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit milik swasta tersebut. Sebab, pelayanan maksimal diberikan ketika pasien dipastikan memiliki kemampuan secara finansial terlebih dahulu. Ini dapat dibuktikan ketika keluarga Alm AA berusaha untuk mengeluarkan jenazah dari rumah sakit, namun pihak rumah sakit tidak memberikan dengan alasan terlebih dahulu melunasi kewajiban.
“Saya sudah katakan saat itu, bahwa untuk urusan administrasi bisa saja dilakukan di belakang, namun jenazah pasien mesti didahulukan, karena memang saat itu sudah malam dan tidak ada yang membawa uang kontan puluhan juta,” terangnya.
Butong pun heran, ketika mengetahui Rumah Sakit Bunda Thamrin tidak lagi menjadi provider BPJS Kesehatan. Pasien AA yang masuk dan dirawat di rumah sakit Bunda Thamrin memiliki BPJS Kesehatan, namun tidak dapat digunakan di rumah sakit tersebut.
Sementara Kepala Bidang Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Bunda Thamrin, dr Purnama Simanjuntak, menjelaskan pada awalnya pasien masuk dalam keadaan gawat darurat, dan langsung ditangani oleh petugas di instalasi gawat darurat. Pada saat itu tidak ada membicarakan pembiayaan, namun ketika dilakukan pemeriksaan diketahui saat itu harus dilakukan tindakan operasi besar lanjutan yang harus dilaksanakan saat itu juga.
“Pihak rumah sakit sudah memberikan penjelasan kepada keluarga inti (ayahanda dan ibundanya) bahwa rumah sakit belum menjadi provider BPJS Kesehatan karena sejak tanggal 1 April 2020, kontrak kerja sama rumah sakit kami sudah berakhir. Dan sudah diinformasikan ke masyarakat untuk sementara waktu Rumah Sakit Bunda Thamrin belum lagi menjadi provider BPJS Kesehatan. Kita juga mengikuti Permenkes yang mengatur hak dan kewajiban pasien di mana berhak mendapatkan informasi tentang biaya pelayanan yang harus dituruti,” jelasnya.
dr Purnama menambahkan, biaya untuk operasi saja diinformasikan berkisar Rp30-an juta di luar biaya lainnya. Pasien juga diberikan kesempatan untuk memberitahukan kemampuan finansialnya.
“Dan pihak keluarga pasien menyanggupinya dan menerima pelayanan kami yang tidak memakai BPJS Kesehatan. Operasi pun berjalan lancar sekitar pukul 00.00 – 01.00 WIB,” ungkapnya.
dr Purnama pun mengaku tidak ada bicara pembayaran terlebih dahulu barulah operasi dilakukan. Rumah sakit pun selalu memberikan informasi pelayanan kepada keluarga pasien.
“Dari pihak keluarga memang ada melakukan pembayaran secara rutin. Sampai akhirnya pasien meninggal dunia di hari Kamis malam. Memang petugas kami ada mengatakan untuk menunda melakukan pembayaran keesokan harinya. Petugas mengatakan pasien ada hak dan kewajiban, pasien diberikan haknya tentu rumah sakit juga memiliki hak. Malam itu juga administrasi pembayaran pun disanggupi,” tambahnya.
Rumah sakit tidak ada menahan jenazah
dr Purnama Simanjuntak meluruskan arti kata menahan jenazah. Katanya tidak ada tujuan pihak rumah sakit untuk menahan jenazah.
“Tidak ada bahasa yang mengatakan bahwa kalau tidak dibayar maka jenazah tidak kami izinkan. Dan defenisi menahan itu seperti apa, dari sejak pasien meninggal hingga dibawa rentan waktunya dua jam, dan itu pun prosesnya tidak ada yang diperlambat. Namun jika keluarga pasien mengatakan tidak memiliki biaya lagi dan kami selaku pihak rumah sakit menahan jenazah pasien berjam-jam barulah kami dapat dikatakan menahan jenazah,” bebernya.
dr Purnama juga mengaku malam itu semua administrasi sudah langsung dibayarkan oleh pihak keluarga pasien. “Saya menganggap pada malam itu, ada miskomunikasi saja antara petugas nakes kami dan keluarga pasien,” pungkasnya.(wol/mrz)
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post