Waspada.co.id – Aksi terorisme di Indonesia memang bukan kali pertama terjadi. Tercatat, sudah ratusan korban jiwa yang ‘berjatuhan’ akibat puluhan aksi bom bunuh diri yang dilakukan para teroris di seantero negeri ini.
Namun yang menjadi sorotan kali ini justru bukan alasan kenapa bom bunuh diri itu bisa terjadi, melainkan para pelaku aksi bom bunuh diri tersebut. Faktanya, aksi terorisme yang terjadi di Gereja Katedral di Kota Makassar dan penyerangan di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta, justru dilakukan para kalangan milenial. Tentu ini menjadi pertanyaan besar.
Pertanyaan besarnya, kenapa justru mereka para generasi penerus bangsa yang menjadi mesin penghancur di negeri sendiri. Sungguh miris mendengar dan melihat fakta itu, tapi memang nasi sudah menjadi bubur, dan saat ini yang wajib dilakukan tentu mencegah para ‘pengantin’ baru dari kalangan milenial.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengungkap sekitar separuh dari pelaku aksi teror berusia muda. Fakta ini didapat berdasarkan sejumlah penelitian terkait terorisme.
Melalui berbagai studi menunjukkan jika kelompok jaringan teroris kerap merekrut anggota berusia muda salah satunya karena mereka dianggap memiliki militansi yang kuat. Para anggota berusia muda itu bahkan dimulai dari usia 18 tahun hingga 25 tahun.
Berdasarkan temuan BNPT, lagi-lagi agama menjadi kedok para teroris untuk merekrut anggota demi melakukan aksi bom bunuh diri yang memang jelas-jelas dilarang oleh agama apapun. Tapi buktinya mereka mampu mengemas doktrin-doktrin tersebut sebaik mungkin hingga akhirnya banyak yang terbujuk.
Di sisi lain, jika merujuk pada aksi yang terjadi di Mabes Polri, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menilai, pelaku beraksi seorang diri tanpa jaringan terorganisasi atau lone wolf. Sementara, Pengamat Intelijen dan Keamanan Negara, Stanislaus Riyanta menjelaskan, pelaku teror lone wolf tak terafiliasi dengan organisasi apapun. Hal ini karena Lone wolf selalu bergerak sendiri.
Istilah lone wolf banyak digunakan dalam dunia terorisme saat ini, dan banyak pula jurnal ilmiah yang menganalisis pergerakan teroris tunggal ini. Pelaku lone wolf biasanya terpapar ideologi ISIS melalui proses swaradikalisasi. Sumber informasi ini berasal dari medium-medium digital yang mudah diakses seperti internet dan lainnya.
Pengamat terorisme sekaligus Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, bahkan memprediksi aksi teror lone wolf dengan pelaku perempuan ini bakal terulang kembali.
Tentunya, agar prediksi tersebut tidak menjadi sebuah kenyataan diperlukan kerja keras dari semua pihak sehingga aksi terorisme bisa diminimalisir atau kalau bisa dibumihanguskan dari negeri ini. Penanaman nilai-nilai agama yang baik dan benar haruslah dilakukan sejak dini, ditambah lagi penanaman rasa cinta terhadap negara mesti dilakukan secara berksinambungan.
Sementara itu, kedua aksi teroris yang terjadi di Indonesia, beberapa waktu lalu menunjukkan jika deradikalisasi yang dilakukan memang masih terseok-seok. Mendukung pernyataan ini, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin menyebutkan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah gagal.
Padahal program tersebut juga telah memakan anggaran hingga triliunan rupiah. Salah satu penyebab kegagalan deradikalisasi adalah metode dan teknik yang tersebar di kementerian, lembaga, hingga organisasi kemasyarakatan, bahkan, metode dan teknik tersebut membuat deradikalisasi menjadi tidak terarah dan kerap diduplikasi.
Sekali lagi, bahwa semua pihak mengutuk aksi terorisme yang terjadi di Makassar dan Jakarta. Dan tidak ada satu agama pun yang membenarkan perbuatan menyakiti orang lain dengan sengaja. Untuk itu, jangan mau terprovokasi, tetaplah bersatu demi NKRI. (***)
Discussion about this post