JAKARTA, Waspada.co.id – Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF-Kemenkeu), Febrio Kacaribu memproyeksi pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan susut sekitar 0,66 persen sampai 3,45 persen pada 2030 bila dampak perubahan iklim tidak segera dimitigasi.
“Potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen dari PDB pada 2030,” ujar Febrio kepada awak media, Senin (29/11).
Oleh karena itu, menurutnya, perlu berbagai kebijakan agar dampak perubahan iklim bisa segera dimitigasi, meski hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Febrio menuturkan estimasi biaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia mencapai Rp3.779,63 triliun hingga 2030 mendatang.
Estimasi ini berasal dari pendekatan biaya aksi mitigasi sekitar Rp343,6 triliun per tahun. Estimasi ini juga berasal dari kebutuhan biaya mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor. Sebab, ia mengatakan Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan dampak perubahan iklim pada semua sektor.
Kebutuhan biaya terbesar berasal dari sektor energi dan transportasi mencapai Rp3.500 triliun. Diikuti limbah sekitar Rp181,4 triliun, kehutanan Rp93,28 triliun, pertanian Rp4,04 triliun, dan IPPU Rp920 miliar. “Diperlukan kebijakan untuk memastikan kebutuhan pendanaan dapat terpenuhi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Febrio mengungkap, pemerintah sudah memiliki beberapa pemetaan kebijakan untuk menutup estimasi kebutuhan biaya mitigasi perubahan iklim ini. Salah satunya, mengucurkan APBN. Misalnya, berupa insentif pajak agar swasta mau ikut berperan dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan kendaraan listrik dalam rangka mengurangi emisi.
Cara lain, dengan menggelontorkan anggaran ke kementerian/lembaga agar mereka turut melakukan perencanaan dan penganggaran untuk mengurangi dampak perubahan iklim di sektor masing-masing.
Selanjutnya, berupa transfer ke daerah, misalnya melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, DAK non-fisik, dana insentif daerah (DID), dana desa, hingga transfer fiskal berbasis ekologi. Namun, belum ada rincian dana untuk masing-masing pos. “TKDD ini untuk mendukung dan mendorong peningkatan peran daerah dalam upaya penanganan perubahan iklim di daerah,” imbuhnya.
Tak ketinggalan, pemerintah juga menelurkan instrumen pembiayaan inovatif untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu, swasta pun bisa ikut berperan.
Yang tidak kalah penting, pemerintah juga berencana mengimplementasikan pajak karbon pada PLTU batu bara mulai 1 April 2022. Lalu, pemerintah bakal mengimplementasikan perdagangan karbon pada 2025.
Saat ini, pemerintah sudah memiliki dasar hukum pungutan pajak karbon berupa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Nantinya, pemerintah juga akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peta Jalan Pajak Karbon serta PP tentang Subjek dan Alokasi Pajak Karbon.
Lalu, pemerintah juga akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif dan DPP Pajak Karbon serta PMK tentang Tata Cara dan Mekanisme Pengenaan Pajak Karbon. Empat aturan ini tengah disusun. (wol/cnnindonesia/ril/data3)
Discussion about this post