Waspada.co.id – Hajjah Ani Idrus (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 25 November 1918 – meninggal di Medan, 9 Januari 1999 pada usia 80 tahun). Ia dan suami H. Moh Said dikenal sebagai wartawan tiga zaman sejak era sebelum kemerdekaan RI/penjajahan Belanda, era Soekarno hingga era Soeharto. Pasangan suami-istri inilah yang mendirikan Harian WASPADA pada 11 Januari 1947 dan bertahan hingga saat ini di tengah maraknya media digital dan media sosial.
Hj Ani Idrus sampai akhir hayatnya menjabat sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian WASPADA dan Majalah Dunia Wanita yang didirikannya pada 15 Juni 1949 di Medan. Ia juga mendirikan lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMU hingga STIKP dalam naungan Yayasan Pendidikan Ani Idrus.
Banyak penghargaan diperoleh Hj Ani Idrus di level lokal, nasional, internasional, termasuk Bintang Narrarya, dan Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah RI (Megawati) buat Hj Ani Idrus atas sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Berikut ini biografi perjuangan Hj Ani Idrus seperti dikutip dari makalah penelitian ilmiah Siti Utami Dewi Ningrum, alumni program studi S-2 FIB UGM dan beberapa peneliti lainnya.
Poligami menjadi cobaan bagi kedua orang tua Ani Idrus. Ibunya memilih untuk bercerai akibat suaminya memiliki istri baru. Setelah bercerai Siti Djalisah pergi merantau ke kota Medan, ikut dengan kakaknya, sedangkan Ani dan kakaknya tetap tinggal bersama ayahnya. Ani kecil hidup dengan penuh kebebasan, ia dapat mandi di sungai hingga memanjat pohon. Ani seringkali dikritik oleh ayahnya, saat itulah ia mulai mempertanyakan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.
Di Medan, Siti Djalisah bertemu dengan lelaki Jawa bernama Misan, seorang pegawai perusahaan asing. Mereka pun menikah dan membawa Ani dan kakaknya untuk tinggal di Medan pada 1929. Di Medan Ani memulai hidup baru dan cita-citanya. Ani bersekolah di Methodist Girl School selama 3 tahun, lalu kemudian ke Meisjeskopschool (Sekolah kepandaian putri) selama 3 tahun dan ke Tamansiswa Medan.
Ia juga semakin gemar membaca dan menulis karena dukungan dari ayah tirinya yang berlangganan surat kabar. Saat bersekolah di Tamansiswa, 1934, Ani menggeluti pekerjaan freelance di majalah harian. Ia juga aktif berorganisasi mulai dari menyanyi, menari hingga olahraga.
Saat berusia 16 tahun, Ani aktif dalam Indonesia Muda cabang Medan. Ia kemudian bergabung dalam Gerindo pada usia 18-19 tahun. Partai tersebut didirikan pada 24 Mei 1937 yang diketuai oleh Adnan Kapau Gani. Anggotanya terdiri dari mantan anggota Partindo, seperti Amir Sjarifuddin, Wilopo, S. Mangunsarkoro, M. Yamin dan Nyonoprawoto.
Semua kegiatan yang dilakukan Ani didukung oleh kedua orang tuanya. Pengalaman hidup Ani turut berpengaruh dalam membentuk cara berfikirnya, termasuk dalam menulis. Ia banyak menaruh perhatian pada permasalahan perempuan dan dituangkan dalam tulisan-tulisannya.
Karya pertamanya bercerita tentang seorang gadis di Batavia yang dikirim ke majalah Pandji Poestaka di Batavia dan berhasil dimuat pada tahun 1930. Keberhasilannya tersebut membuat Ani semakin percaya diri dan terus mengembangkan bakat menulisnya hingga ia dewasa.
Ia kemudian meniti karir sebagai seorang jurnalis, mulai dari menjadi bagian di Pewarta Deli hingga Sinar Deli. Ia banyak bertemu jurnalis-jurnalis senior dan orang-orang pergerakan, salah satunya HR Rasuna Said. Ia juga bertemu Moh.Said, seorang jurnalis senior yang kemudian dipilih sebagai suaminya pada 1939.
Bersama Said, Ani mendirikan penerbitan Waspada pasca Indonesia merdeka pada 11 Januari 1947. Sebelumnya Ani juga sempat mendirikan majalah Wanita, namun agar lebih fokus mengurus Waspada, maka majalah tersebut ia tinggalkan. Semangat Ani untuk mendirikan majalah perempuan tidak padam. Ia kemudian menerbitkan majalah Dunia Wanita pada 15 Juni 1949. Majalah ini merupakan bentuk kesadaran Ani untuk mengambil bagian dalam kemajuan perempuan saat itu, terutama dalam mengisi kemerdekaan.
Majalah tersebut merupakan majalah tengah bulanan populer. Hal ini karena Ani mengaturnya lebih matang daripada majalah yang ia dirikan sebelumnya dengan struktur kepegawaian yang cukup lengkap dan wilayah pemasaran yang cukup luas.
Majalah Dunia Wanita mempekerjakan perempuan sebagai stafnya. Mereka tidak hanya berada di Medan, namun juga beberapa pembantu tetap yang ada di luar Medan, seperti Gadis Rasid di Jakarta, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta dan Nona Chen Hsiang-Niang di Banjaran. Ani Idrus menjadi ketua, sedangkan Asminah Hasibuan dibantu Anna dalam bagian tata usaha dan keuangan, Sabariah dan Effa bagian redaksi, dan Nurmia bagian tatausaha dan redaksi.
Perempuan menjadi penulis utama dalam Dunia Wanita dan dibebaskan dalam menuliskan temanya mulai dari politik, ekonomi hingga masalah rumah tangga. Majalah Dunia Wanita juga memberi kesempatan kepada laki-laki untuk mengirim tulisan yang bertemakan perempuan. Selain itu, pembaca juga diperkenankan untuk menuangkan pemikirannya dan mengirimkan hasil karangannya tersebut ke redaksi Dunia Wanita.
Majalah Dunia Wanita dicetak dengan kualitas yang bagus dengan harga f. 1.50. Majalah ini berhasil dijual sebanyak 1000 eksemplar. Majalah ini sangat dinantikan oleh pembaca, di mana yang pada awalnya berencana diterbitkan 20 halaman menjadi lebih banyak daripada target awal, yaitu 28 halaman. Hal ini didukung oleh banyaknya permintaan iklan untuk diterbitkan dalam majalah tersebut.
Penulis-penulis kondang juga menuangkan pikirannya dalam majalah Dunia Wanita, seperti Maria Ulfa, Ny.Dr.Subandrio, Rinto Alwi dan lainnya. Agen pemasarannya menyebar di kota – kota Indonesia seperti Toko E Abd. Gani di Bangkalan-Madura, Maxim di Surabaya, Eveline Tio di Pekalongan, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta, Nj. D. Sudarma di Bogor, toko buku “Obor” di Martapura, An Lok di Makasar, A.S. Riduan Wahidin di Alabio-Banjarmasin, toko buku “Hamda” di Amuntai, “Perdis” di Tanjung Karang, Sitti Roesdijah di Baturaja, Kwee Tiang Mo di Muara EnimPalembang, pustakan “d’Orient” dan Lie Kheng Ho di Padang, J. Sihombing di Tarutung, Go Tie Tiong di Samarinda, bahkan hingga ke Singapura oleh agen Marjam Saman. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat antusias dalam membaca majalah Dunia Wanita.
Melalui Dunia Wanita, Ani mendorong perempuan untuk mengetahui keberadaan diri dan hak – hak perempuan dalam mengisi kemerdekaan, baik dalam politik, ekonomi, sosial dan keluarga. Hal tersebut dengan jelas ia paparkan dalam kata pengantar terbitan edisi pertama, 15 Juni 1949 sebagai berikut: “[…] Oleh sebab itulah kami menerbitkan madjallah ini karena kami merasa insaf dengan djalan memberikan penerangan – penerangan dalam madjallah ini kami dapat menjumbangkan bakti untuk kemadjuan wanita. […]” Fatmawati menjadi sampul majalah di edisi pertama Dunia Wanita.
Gadis Rasid, salah seorang staf majalah Dunia Wanita menjelaskan dalam edisi tersebut bahwa meskipun majalah Dunia Wanita merupakan majalah perempuan, namun laki-laki juga dapat membacanya. Menurutnya, tidak ada pemisahan antara laki – laki dan perempuan dalam masyarakat, meskipun ada beberapa kepentingannya yang berbeda seperti apa yang dituliskan dalam Dunia Wanita. Keduanya harus aktif bersama untuk mencapai kebahagiaan dalam masyarakat dan memperjuangkan cita – cita bangsa.
Majalah Dunia Wanita sempat hendak ditutup akibat ketidaksetujuan Moh.Said. Hal ini ditimbulkan akibat uang belanja yang diberikan kepada Ani digunakan untuk keperluan majalah Dunia Wanita. Sebelum berangkat ke Yogyakarta untuk melakukan pertemuan negara, Said memberi peringatan kepada Ani untuk menutup Dunia Wanita. Namun di Yogyakarta ia bertemu Ibu Fatmawati dan Rahmi Hatta yang sangat antusias dengan majalah Dunia Wanita. Sepulang dari Yogyakarta, rencana Said semula dibatalkan dan justru mendukung Ani secara penuh untuk mengembangkan Dunia Wanita. Keterlibatan Ani di Dunia Wanita ia jalani hingga tahun 1961.
Dalam dunia pers, Ani mencapai jabatan tertingginya sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Medan. (1953-1963) Ia juga sempat melakukan berbagai kunjungan ke negara-negara Asia, Eropa dan Irian Jaya dalam misinya sebagai seorang jurnalis. Selain dunia pers, Ani juga aktif dalam dunia politik. Ia aktif dalam PNI dan Wanita Marhaenis pada tahun 1960-1967. Selain itu ia juga menjadi anggota DPRD Sumatera Utara. Ia juga sempat menjadi Wasekjen Front Nasional Sumatera Utara mewakili golongan perempuan.
Pada awal terbit, Dunia Wanita menampilkan beberapa rubrik, seperti kata pengantar, profil perempuan, artikel dan opini tentang perempuan, “Tanah Air” mengenai keadaan dalam negeri, “Surat Menyurat”, “Djahit Mendjahit”, “Kesehatan”, “Halaman Bergambar” yang berisi foto kegiatan perempuan di dalam dan di luar negeri, “Pendidikan”, “Dalam Rumah Tangga”, “Masak-masakan”, “Untuk Wanita Sadja”, “Tjerita Pendek” yang berisi humor, juga karikatur dan beberapa catatan tambahan serta iklan.
Beberapa dari rubrik tersebut beberapa kali mengalami perubahan, seperti rubrik “Untuk Wanita Sadja” yang berisi opini dan juga sebuah himbauan mengenai bagaimana perempuan harus bertindak dalam hidupnya, juga beberapa strategi dalam rumah tangga dan cara yang dapat dilakukan untuk menjalin relasi dengan suami. Rubrik tersebut menghilang pada terbitan tahun 1950. Redaksi tidak menjelaskan mengenai penghilangan rubrik tersebut, namun rupanya rubrik tersebut menuai kesalahpahaman pada pembaca laki – laki seperti yang dijelaskan oleh redaksi sebagai berikut: “Banjak orang laki – laki tidak mengerti maksud “D.W.” tentang iklan – iklan yang dimuat di surat – surat chabar tentang satu rubrik jang kami harap djangan dibatja oleh laki-laki. Sangka mereka semua isi madjallah itu dilarang dibatja oleh laki – laki. Untuk mendjaga supaya djangan terdapat salah paham, maka perlu kami terangkan di sini bahwa “Dunia Wanita” bukan tidak boleh dibatja laki – laki tetapi di dalam madjallah itu ada satu rubrik jang hanja untuk WANITA sadja, yang mana kalau boleh djangan dibatja oleh laki – laki, karena di dalamnja dibitjarakan soal perempuan sadja yang tidak perlu diketahui laki-laki.
Rubrik “Untuk Wanita Sadja” kembali muncul pada edisi No. 24 Tahun ke IV 15 Desember 1952 dalam isi yang lebih banyak. Pada edisi No. 1 tahun ke IX 1 Januari 1957 muncul rubrik yang memberikan kolom semacam surat terbuka dari pembaca yang dikategorikan sebagai “Harapan Istri” dan “Suara Seorang Suami” sebagai jalan untuk mengutarakan pendapat dan apa yang dialami dalam rumah tangga dan ingin dibagi kepada pembaca Dunia Wanita. Sayangnya rubrik tersebut pun tak berlangsung lama, hanya bertahan pada edisi No. 7 tahun ke IX 1 April 1957 dan menghilang tanpa penjelasan dari redaksi majalah Dunia Wanita. Karikatur yang berisi sindiran dan ide – ide kesetaraan pun menghilang dan digantikan dengan karikatur yang bersifat humor.
Setelah itu, ide mengenai kesetaraan dalam rumah tangga di majalah Dunia Wanita mengalami penurunan dan hilang perlahan digantikan dengan isu yang lain, seperti politik dan keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sepak terjang perempuan dalam dunia politik pada masa demokrasi terpimpin yang ditandai dengan masuknya Gerwani dalam kancah politik.
Menurut Saskia E. Wieringa keterlibatan perempuan dalam dunia politik yang dikuasai oleh sayap kiri membuat mereka menjadi terkotak – kotak dan saling bersaing sehingga lupa akan perjuangan kepentingan feminis mengenai ide kesetaraan gender itu sendiri. Meskipun membahas perempuan dalam berbagai bidang, masalah perempuan dalam rumah tangga yang menampilkan ide kesetaraan menjadi bagian yang menarik dalam konteks tahun 1950-an dalam tulisan – tulisan yang dimuat dalam majalah Dunia Wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa demokrasi liberal dan penjaminan hak berpendapat diberikan oleh negara dimanfaatkan betul oleh perempuan melalui majalah Dunia Wanita ini dalam menyuarakan pendapatnya mengenai partisipasi istri dan suami secara setara dalam rumah tangganya untuk mencapai keharmonisan.
Dalam sejumlah artikel lainnya kita melihat betapa totalitas Hj. Ani Idrus dalam membangun dan membesarkan Harian Waspada dan Dunia Wanita hingga akhir hayatnya. Isi majalah wanita yang dibangunnya fokus memberdayakan kaumnya (wanita) agar semakin pintar, setara dalam segala hal dengan laki-laki, baik di bidang pendidikan, politik, hukum dll. Ia tak segan-segan menggebrak pihak-pihak yang mendiskriminasi hak-hak kaum wanita. Hal itu bisa dilihat dari kebijakan redaksi pemberitaan medianya. Hj Ani Idrus total menjalankan fungsi pers yang mencerdaskan rakyat. Berani melakukan sosial kontrol (kritik) kepada penguasa.
Untuk bisa mencerdaskan masyarakat ia mendidik wartawannya dengan disiplin keras, sering mengirim dan menyekolahkan wartawannya agar berkualitas dan profesional. Bahkan, mendirikan Akademi Pers Indonesia (API) di Medan tahun 1956 dan membangun Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIKP) yang bertahan hingga saat ini sebagai komitmen hidupnya dalam mencerdaskan masyarakat (pembaca) demi kemajuan bangsa.(wol/aa/d2)
Discussion about this post