MEDAN, Waspada.co.id – Komoditas cabai biasanya paling sering berfluktuasi terhadap harga, sehingga membuat pengendalian inflasi di Sumatera Utara mengalami kesulitan.
Tetapi di tahun ini, fluktuasi harga cabai khususnya cabai merah cukup terkendali. Di mana rekor harga yang paling mahal ada dikisaran Rp50 ribu per kilogram (kg), dan level yang terendah ada dikisaran angka Rp18 ribu per kg nya.
Fluktuasi yang cukup besar pada komoditas cabai rawit. Di awal tahun, cabai rawit sempat menyentuh Rp90 ribu per kg, kemudian sempat berada di level terendah Rp24 ribu per kg. Meski demikian, sumabangan inflasi yang dihasilkan dari kenaikan harga cabai rawit masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan inflasi dari cabai merah.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin menuturkan, cabai merah kerap merepotkan saat berfluktuasi dan tidak jarang memicu terjadinya inflasi yang besar. Hanya saja, cabai merah pada umumnya dihasilkan dari produksi dalam negeri.
“Hampir semua pembentukan harga didominasi oleh faktor internal, fluktuasi harga cabai dipicu oleh masalah produksi yang kerap terganggu oleh cuaca. Di Sumut, longsor dan cuaca buruk yang mengganggu produksi sehingga jalur distribusi dari Tanah Karo turut memicu terjadinya kenaikan harga komoditas cabai,” tuturnya, Senin (6/12).
Meskipun tidak sepenuhnya cabai dihasilkan dari Tanah Karo, namun kontribusi pembentukan harga dari Tanah Karo dan sekitarnya sangat dominan dibandingkan dengan kontribusi pembentukan harga dari wilayah lain. Untuk cabai sendiri, selain dari Tanah Karo dan sekitarnya, juga kerap didatangkan dari wilayah lain. Umumnya dari wilayah Deliserdang, Batubara, Aceh, maupun dari Pulau Jawa. Kehadiran cabai dari wilayah luar tersebut yang menjadi salah satu pemicu penurunan harga cabai di Kota Medan.
“Harga cabai di tahun 2021 yang sempat menyentuh level Rp50 ribu per kg, itu lebih dikarenakan oleh pasokan yang bergantung hampir 100% dari Tanah Karo,” katanya.
Untuk di tahun depan, Gunawan berpendapat, kalau cabai akan terus berfluktuasi. Produktivitas tanaman cabai tidak akan banyak dipengaruhi oleh perubahan kurs mata uang rupiah, pemulihan kinerja ekonomi global dan termasuk juga adanya varian Covid 19 Omicron. Cabai akan lebih banyak dipengaruhi oleh cuaca, jalur distribusi, pasokan dari luar wilayah Sumut, serta pola tanam petani.
“Kalau tren konsumsi cabai relatif stabil setiap harinya. Jadi, keberhasilan dalam mengendalikan harga cabai justru sangat bergantung pada keberhasilan dalam hal penyediaan pasokannya itu sendiri,” jelasnya.
Selama pasokan terkendali, maka harga cabai akan bergerak stabil dan tidak memicu terjadinya kenaikan harga yang ekstrim yang bisa memicu terjadi kenaikan laju tekanan inflasi.
Untuk itu, pemerintah harus lebih bisa mengendalikan sisi pasokan dengan menjaga produksi di tingkat petani dan menjaga jalur distribusi. Tetapi masih ada beberapa hal yang mungkin sulit untuk dikendalikan. Di antaranya adalah adanya ketimpangan permintaan cabai antar wilayah.
“Nah kondisi cuaca antar wilayah yang berbeda, serta kebutuhan cabai di luar wilayah bisa memicu terjadinya gangguan pasokan di Sumut. Inilah salah satu masalah atau tantangan yang dihadapi dalam pengendalian harga cabai setiap tahunnya. Kalau bicara pasokan dari wilayah Sumut memang selalu tersedia, namun tidak bisa menjamin 100% adanya kestabilan harga,” pungkasnya. (wol/eko/ril/data3)
Editor : FACHRIL SYAHPUTRA
Discussion about this post