JAKARTA, Waspada.co.id – Pemerintah gelisah informasi hasil konten media sosial berdampak terhadap media arus utama, pers. Media arus utama berlomba kecepatan informasi dengan kaidah jurnalistik dengan media sosial yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah sedang mencari payung hukum yang sesuai untuk membedakan konsekuensi hukum antara produk jurnalistik dengan media sosial.
Pers, adalah sebuah produk entitas yang bekerja berjenjang dari lapangan ke ruang redaksi. Pers memiliki standar etik yang terjaga, terakurasi terverifikasi. Sebaliknya, media sosial sebagai sarana berinteraksi, kekinian menjadi ruang penyebaran konten yang kerap terjadi disinformasi.
“Sampai sekarang masih cari baju hukumnya, apakah Undang-Undang Penyiaran, ITE atau Pers atau rancangan Undang-Undang sendiri, kalau sendiri RUU tentang apa? Ini kami sedang cari bajunya,” kata Mahfud.
Banyak manfaat dari media sosial, tapi di lain sisi tatanan kehidupan juga dapat mengalami kehancuran melalui media sosial. Saling tuding, fitnah, merendahkan martabat, kerap menjadi ruh media sosial. Kondisi itu kemudian merembet kepada kepercayaan publik atas produk jurnalistik.
Anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhari menilai, payung hukum yang tepat menjadi pembeda antara produk jurnalistik media arus utama dengan media sosial adalah dibentuknya undang-undang baru.
“Undang-Undang medsos itu seharusnya sudah saatnya (dibentuk sebagai pembeda produk jurnalistik dengan media sosial),” kata Djauhar kepada merdeka.com, Selasa (8/2).
Sebenarnya, rancangan Undang-Undang tentang Media Sosial pernah diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Namun pembahasan itu mandek. Djauhar mengkritik, pembahasan rancangan Undang-Undang tidak subtantif kepada hajat banyak orang justru dipercepat.
“Kenapa kalau untuk Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang IKN (ibu kota negara) bisa cepat? Sementara undang-undang yang untuk memenuhi hajat hidup orang banyak kenapa lamban banget,” kritik Djauhar.
Namun, Djauhar mengingatkan, rancangan Undang-Undang tentang Media Sosial bukan sebagai alat dengan tujuan meringkus masyarakat. Dia mencontohkan, penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam penanganan perkara yang melibatkan media sosial.
Padahal, menurut Djauhar, secara pokok undang-undang tersebut dibentuk untuk kepentingan perdagangan. Undang-Undang tersebut juga bahkan kerap berdampak terhadap produk jurnalistik.
“Undang-Undang ITE itu sebenarnya untuk sistem perdagangan, informasi transaksi dan elektronik, tetapi kemudian melebar ke mana-mana diterapkan secara serampangan sehingga informasi jurnalistik kadang disasar dengan Undang-Undang ITE,” kata dia.
Pakem adanya Undang-Undang ITE adalah mewadahi masyarakat menyampaikan ekspresi, kritik, saran dan pemikiran yang dapat membangun satu sistem pemerintahan atau sosial. Di media sosial, masyarakat bebas ‘bersyarat’ saat menyampaikan ekspresi.
Disebut bersyarat karena kebebasan berbicara bukan tanpa ‘tendeng aling-aling’. “Di sinilah letak seninya. Bebas berbicara seperti apa? Orang berbicara itu kalau memungkinkan harus kompeten, seseorang ngomong A, B, C, dia harus kompeten. Tidak setiap orang langsung ngomong ngaco, sok tahu begitu. Dia harus memiliki semacam kompetensi, seperti wartawan nulis itu kan harus memiliki kompetensi,” ungkapnya.
“Kalau orang ini asal ngomong kemudian tidak tahu persoalannya, itu yang berbahaya bisa menyesatkan publik bisa adu domba jadi hate speech dan seterusnya,” imbuh Djauhar. (wol/merdeka/ril/d2)
Discussion about this post