MEDAN, Waspada.co.id – Para pemuda dari berbagai elemen masyarakat sipil maupun individu mengadakan aksi refleksi malam memperingati 18 tahun kematian Munir Said Thalib, di Medan, Rabu (7/9).
Aksi ini adalah bentuk masih hidupnya semangat perjuangan hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki Munir di kalangan anak muda. Aksi tersebut juga mendorong Komnas HAM untuk menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
Koordinator KontraS Sumut, Rahmat Mohamad, mengatakan Munir adalah seorang pejuang HAM yang dibunuh dengan cara diracuni arsenik di dalam pesawat saat melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Belanda.
Menurutnya, saat itu Munir sedang melanjutkan pendidikan S2 di Belanda. Munir adalah orang yang konsisten dalam mempromosikan HAM, membela korban-korban pelanggaran HAM dan mendorong negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
“Sebagai pemuda, kita berhutang banyak pada munir, semasa hidupnya Munir konsisten mendorong upaya pemenuhan HAM, mendorong reformasi keamanan, melakukan advokasi-advokasi pelanggaran HAM, dan melakukan perlawanan untuk membela rakyat tertindas,” kata Rahmat.
Ia mengatakan, para pelaku pembunuhan Munir masih belum terungkap, penetapan hukum kasus pembunuhan Munir hanyalah eksekutor lapangan, yaitu Pollycarpus Budihari Priyanto. Namun, hingga kini dalang intelektual sebenarnya kematian Munir tidak kunjung diproses hukum.
“Munir mendorong pemerintah dan negara untuk berjalan kearah yang lebih baik, tetapi justru dibungkam dengan penghilangan nyawanya. Seharusnya , pembela HAM seperti Munir mendapatkan perlindungan dari negara. Dengan sukarela ia memberanikan diri melawan segala bentuk pelanggaran HAM,” ujarnya.
Ia menambahkan, hingga kini belum ada konseptor utama yang yang ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan Munir, padahal ada dugaan Badan Intelijen Negara (BIN) turut terlibat dalam perencanaan pembunuhan Munir.
Temuan Tim Pencari Fakta (TPF) dan fakta persidangan menyebutkan ada dugaan keterlibatan intelijen negara. Anehnya dokumen TPF itu hilang dan tidak ada di Kementerian Sekretariat Negara. “Ada sederet keanehan dalam penegakan hukum kasus Munir, terutama ketika dokumen TPF dinyatakan hilang, padahal menurut kesaksian para anggota TPF, hasil investigasinya sudah diserahkan pada Sekretariat Negara, tapi anehnya malah hilang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rahmat menyebutkan, pada 2021 lalu, Komnas HAM memutuskan tanggal 7 September sebagai hari Perlindungan Pembela HAM. Hal tersebut justru tidak berbanding lurus dengan tindakan konkret Komnas HAM untuk menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
Ia mengatakan, sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Komnas HAM sedianya bertugas untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM dapat menetapkan kasus kematian munir sebagai pelanggaran HAM berat.
“Jelas kita menganggap bawah kasus kematian Munir adalah pelanggaran HAM berat, ada crime state disana, ada perencanaan sebelum eksekusi (melibatkan komponen negara), bahkan perencanaan itu sangat matang dengan skenario pra eksekusi, eksekusi dan penghilangan jejak pasca eksekusi,” tegasnya.
Menurut Rahmat, pelanggaran HAM berat tidak hanya mengakibatkan banyak korban yang meninggal, jika ada suatu perencanaan yang matang yang dilakukan oleh negara maka itu sudah memenuhi salah satu unsur, oleh sebabnya kematian Munir adalah bagian dari pelanggaran HAM berat sebelumnya. “Tarik ulur Komnas HAM akan berdampak pada sukarnya pencarian keadilan bagi keluarga korban, dan membiarkan konseptor pembunuhan munir bebas berkeliaran,” katanya.
“Hari ini, dengan masih banyaknya keterlibatan anak muda dalam mengenang kepergian pejuang HAM ini menunjukkan bahwa hanya jasad Munir yang mati tapi ide dan semangatnya masih hidup, mereka yang hadir disini akan terus berupaya menghidupkan kembali semangat dan keberanian Munir,” pungkasnya. (wol/man/d2)
editor: FACHRIL SYAHPUTRA
Discussion about this post