Oleh:
Muhammad Riswan Roesli
Waspada.co.id – Tanggal 12 Oktober 2022, Insyaa Allah masyarakat Kabupaten Simeulue akan memperingati dan merayakan Hari Jadi yang ke-23. Dalam derap perjuangan menggapai asa agar dapat berotonomi hingga terbitnya Undang-undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Simeulue, tentu tidak sepi dari suka-duka dan lika-liku perjuangan yang dilalui oleh para pejuang otonomi daerah ini demi menggapai cita-cita luhur tersebut.
Putra-putri terbaik Simeulue yang berdiri di lini depan dalam mencetus, menggagas dan berjuang untuk sebuah kabupaten pada masa itu, di antara mereka kini tidak bersama kita lagi. Mereka telah mendahului kita menghadap Sang Khalik, semoga amal ibadah serta perjuangan mereka menjadi pahala di sisi Allah SWT. Mereka adalah pejuang dalam mengantarkan Simeulue ke gerbang otonomi.
Tulisan ini sebagai informasi kepada pembaca yang budiman tentang kilas balik sejarah sebagai upaya melawan lupa akan torehan sejarah yang pernah dilalui. Untuk mengetahui sejauh manakah perjuangan rakyat Simeulue dalam mencapai sebuah otonomi yang pada awalnya masih berstatus kewedanaan.
Sebelas tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pada tahun 1956 tokoh-tokoh masyarakat Simeulue sepakat menyatukan pemikiran politiknya agar suatu ketika kelak Simeulue bisa menjadi daerah tingkat II yang otonom melalui ajang pertemuan yang dikenal dengan “Kongres Rakyat Simeulue”.
Ide dan gagasan dilaksanakannya Kongres Rakyat Simeulue ketika itu disemangati oleh adanya Kongres Rakyat Indonesia pada tahun 1955 di Jakarta yang juga dihadiri oleh utusan dari Pulau Simeulue yaitu Sutan Ruswin.
Namun karena berbagai kendala ketika itu, maka Kongres Rakyat Simeulue tersebut baru dapat terlaksana pada tanggal 12 sampai 14 Juni 1957 di Sinabang dengan tema sentral “Peningkatan Status Kewedanaan Simeulue menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Otonom” dengan diketuai oleh Teuku Adnan dan dibantu oleh para tokoh pejuang lainnya.
Kongres Rakyat Simeulue Tahun 1957 tersebut belum langsung membuahkan hasil, perjuangan masih belum apa-apa. Setelah sebelas tahun berlalu, semangat Kongres Rakyat Simeulue 1957 dikobarkan lagi melalui “Musyawarah Luan Balu” pada tahun 1963. Musyawarah ini pesertanya adalah para Asisten Wedana (camat), Kepala Mukim serta para Kepala Desa.
Kendatipun tidak bertemakan politik, pertemuan akbar tersebut membahas tentang upaya dan terobosan di bidang pertanian, ekonomi dan pembangunan dalam arti luas sebagai wujud kesiapan masyarakat dalam menyongsong peningkatan status Simeulue menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Otonom yang dicetus pada Kongres Rakyat Simeulue Tahun 1957.
Karena itu, Musyawarah Luan Balu tersebut dapat dikatakan sebagai estafet kedua perjalanan politik rakyat Simeulue setelah berlangsungnya Kongres Rakyat Simeulue Tahun 1957.
Discussion about this post