JOGYAKARTA, Waspada.co.id – Keinginan Presiden Jokowi diawal memerintah pada tahun 2015 agar Indonesia bisa menekan impor BBM yang telah membebani neraca transaksi berjalan adalah dengan membangun beberapa kilang minyak. Namun tampaknya rencana itu sulit terealisasi, bahkan bisa jadi diakhir pemerintahannya pada Oktober 2024 tak satupun proyek RDMP (Refinery Develoment Master Plan) dan GRR (Grass Root Refinery) bisa diresmikannya.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam rilisnya kepada awak media, Sabtu (31/12) di Jogyakarta.
“Pasalnya, kemajuan proyek RDMP Balikpapan hingga akhir tahun 2022 hanya 55,6 %, termasuk proyek GRR Rosneft Tuban yang sudah selesai tahap FEED (Front End Enginerring Design) sejak Mei 2022 tapi belum ada kejelasan untuk tahap konstruksinya, alasannya jamak yakni Rosneft negaranya lagi perang,” terangnya.
Sebab, membangun kilang sejak pra konstruksi hingga beroperasi kilang secara komersial setidaknya butuh waktu 4 tahun, diluar kegiatan FEED dan DED serta pembuatan Scope of Work.
Begitu juga terhadap proyek pembangunan kilang Olefin TPPI Tuban, hingga saat ini pelaksanaan Design Build Competition yang dilakukan dua konsorsium juga molor selesainya hingga saat ini, dari jadwal 270 hari terhitung 16 Desember 2021.
“Semua kelambatan itu diduga lebih disebabkan kondisi cash flow Pertamina sangat berat sejak sebelum proyek proyek ini direncanakan hingga saat ini, tentu semuanya bisa terjadi akibat lamanya pemerintah membayar subsidi BBM & LPG serta beban global bond Pertamina untuk proyek investasi blok migas di luar negeri yang tidak efisien, serta kontrak panjang LNG yang diduga bermasalah, termasuk sulitnya lembaga keuangan dunia membiayai investasi energi kotor” jelasnya.
“Coba bandingkan investasi hulu Pertamina di blok Rokan hanya USD 725 juta signatur bonus yang masuk kekantong negara dengan Komitmen Kerja Pasti USD 500 juta dan produksi 160.000 barel perhari, dengan diluar negeri bersumber global bond sekitar USD 10 miliar, dari 13 negara Pertamina beroperasi tetapi hanya menghasilkan minyak mentah sekitar 110.000 barel perhari, ironis memang,” katanya lagi.
Padahal, tambah Yusri, problem mendasar kita adalah di hulu, yaitu soal lifting minyak yang melorot terus selama ini, semakin parah saja.
“Jikapun kilang berhasil dibangun semuanya, memang impor BBM berkurang, tetapi impor minyak mentah akan semakin membesar, sebab konsumsi kita sudah mencapai 1.5 juta barel perhari,” katanya.
Lanjut Yusri, jadi membangun kilang tidak menjamin mengurangi impor minyak mentah maupun BBM, kecuali proses transisi energi berbasis tenaga listrik bisa lebih cepat, asalkan terjangkau oleh daya beli mayoritas rakyat kita.
Apalagi jika dalam perencanaan hingga pelaksanaan membangun kilang dilakukan secara tidak terencana dengan baik sejak awal, bisa berakibat investasi yang tidak efisien, akhirnya membuat BPP (Biaya Pokok Produksi) kilang tinggi, sehingga kalah bersaing dengan kilang tetangga.
“Jadi, kegundahan Jokowi saat itu telah direspon oleh Direksi Pertamina asal bapak senang dengan program melakukan revitalisasi beberapa kilang minyak, yaitu proyek RDMP kilang Balikpapan, kilang Cilacap, kilang Balongan dan kilang Dumai, serta membangun kilang baru atau GRR TPPI Tuban, meskipun tak punya kemampuan finansial,” tegasnya.
Program Jokowi untuk membangun kilang tampaknya terkendala dari sisi kemampuan dana Pertamina dan proses bisnis yang terkesan buruk dalam memilih kontraktor EPC nya. Proses bisnis yang buruk dalam menentukan kontraktor EPC konon kabarnya dipengaruhi oleh oknum elit elit politik partai pendukung Jokowi sendiri.
Sebab, nilai setiap proyek RDMP itu berkisar USD 5 miliar atau setara 75 triliun, sementara untuk proyek GRR berkisar USD 15 miliar atau setara RP 110 triliun. Wajar jika para investor mencari dukungan elit politik dan calo bergentayangan berburu rente agar bisa menjadi pemenangnya.
Sebagai contoh nyatanya proyek RDMP Balikpapan, progresnya sangat lambat, sejak ground breaking pada Maret 2019 hingga akhir tahun 2020 progresnya hanya 56%, tak lebih.
“Selain terlambat, ternyata change order (co) RDMP Balikpapan kabarnya sudah di atas 10 % , tentu diduga telah melanggar Peraturan Pemerintah nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” jelasnya.
Parahnya lagi, beredar kabar buruk lantaran banyak subkon yang bekerja di RMDP pada nangis darah dalam menunggu bayaran dari konsorsium EPC, malah banyak yang sudah ulang tahun menunggunya.
“Sehingga Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Holding, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat berkunjung ke proyek RDMP Balikpapan 18/9/2021, telah memberikan peringatan keras kepada konsorsium EPC,” tuturnya.
Dia menyatakan “kita mau proyek ini selesai dengan segala konsekwensinya, tetapi harus tetap sesuai aturan dan asas keadilan”.
Begitu juga proyek kilang Olefin Tuban bernilai sekitar USD 5 miliar atau Rp 76 triliun, untuk pembuatan FEED, DEED dan Scope of Work dengan sistem Design Build Competition yang kontrak 15 Desember 2021 dengan durasi kerja 270 hari, hingga saat ini belum selesai alias molor dari jadwal, sehingga Pertamina Kilang Internasional belum bisa menunjuk siapa konsorsium EPC.
Konsorsium EPC untuk RDMP Balikpapan hampir sama dengan salah satu pemenang Dual Build Competation Kilang Olefin Tuban, yaitu konsorsium Hundyai EC dan kawan kawan.
Ketika dikonfirmasi soal molornya beberapa proyek kilang Pertamina kepada Manager Corporate Comunication PT Kilang Pertamina Internasional, Mila Suciani sejak Jumat pagi 23/12/2022, dia hanya menyatakan ” nanti saya check dulu ya”, namun hingga diberitakan ini tampaknya dia tak mampu menjawab pertanyaan sederhana kami.
Jadi, terkesan kental Pertamina kilang sekarang dikelola seperti lembaga intelijen, sangat tertutup rapat informasinya.
“Padahal pertanyaan kami sederhana saja, sudah berapa persen kemajuan proyek RDMP Balikpapan dan proyek kilang Olefin Tuban serta proyek GRR Tuban, jadi pahamkan,” tutupnya. (wol/ari/d1)
Discussion about this post