Oleh: Eva Hotma T.M Tampubolon
Waspada.co.id– Kehidupan era modern yang kompleks memerlukan kemudahan-kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Perkembangan teknologi memberi kemudahan bagi manusia dalam mengerjakan berbagai urusan dan hasilnya lebih cepat dan lebih efisien
Salah satu kemudahan tersebut adalah penggunaan kartu kredit, dan seolah-olah sudah merupakan bagian dari life style. Kartu kredit menjadi salah satu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai. Terhadap pemakaian kartu kreditv ada beberapa pendapat antara lain, pemegang kartu kredit sewaktu-waktu menukarkan apa saja yang kita inginkan, yakni di tempat dimana saja ada cabang yang dapat menerima kartu kredit dari bank atau perusahaan yang mengeluarkan atau cabang yang mengeluarkan (Imam Prayogo Suryahadibroto, 1990:335).
Berikutnya kartu kredit adalah pembayaran melalui jasa bank atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang atau jasa, atau alat untuk mengambilan tunai dari bank atau perusahaan pembiayaan (Abdulkadir Muhammad, 2000:263).
Berbagai transaksi dalam memenuhi kebutuhan yang dilakukan baik langsung maupun online memerlukan alat pembayaran yang dilakukan secara ringkas. Untuk itu pemakaian kartu kredit menjadi satu opsi. Kemudahan yang diperoleh pengguna kartu kredit antara lain pembayaran tidak serta merta pada saat dilakukan transaksi dan dapat ditunda sesuai limit waktu yang ditentukan Bank penerbit kartu kredit. Adanya fasilitas berupa promo dan diskon harga tertentu, menjadi faktor pendorong melonjaknya penggunaan kartu kredit. Transaksi-transaksi ini tentunya dapat mendorong pertumbuhan roda perekonomian
Fasilitas penggunaan kartu kredit juga menimbulkan efek samping. Alasan gaya hidup dan perubahan penghasilan, dapat memancing masyarakat berani berhutang dan resiko lebih besar pasak dari tiang yang berpotensi gagal bayar. Pengenaan bunga tinggi dan biaya surcharge pada kartu kredit sering tidak disadari oleh pengguna kartu kredit yang akhirnya membuat pemegang kartu kredit kesulitan melakukan pembayaran.
Kendati demikian dengan segala kelebihan dan kekurangannnya, praktek penggunaan kartu kredit berkembang. Kartu kredit digunakan bukan hanya dalam transaksi sektor private, namun oleh pemerintah digunakan juga dalam transaksi belanja yang dibiayai dari APBN dengan menggunakan Uang Persediaan.
Kebijakan ini menimbulkan berbagai tanggapan baik positif (pros) maupun negative (cons). Dan berbagai kajian dalam bentuk diskusi maupun tulisan sudah banyak membahas kebijakan ini. Pihak yang pros menyambut baik antara lain dengan pertimbangan bahwa dengan penggunaan kartu kredit satker dapat melaksanakan melaksanakan kegiatan tanpa menunggu uang kas dari Bendahara Pengeluaran. Dari segi keamanan tentunya lebih aman menggunakan selembar kartu kredit daripada segepok uang tunai terutama untuk transaksi dalam jumlah rupiah yang besar.
Namun pendapat Cons memandang bahwa penggunaan kartu kredit berpotensi mengakibatkan terjadinya fraud karena penggunaan kartu kredit untuk membayar keperluan pribadi pejabat yang memegangkartu kredit. Disamping itu penggunaan kartu kredit hanya dimungkinkan untuk bertransaksi di merchant yang menggunakan mesin EDC (Electronic Data Capture) dianggap membatasi satker dalam menentukan pihak penyedia barang dan jasa (Vendour).
Penggunaan kartu kredit seolah-olah identik dengan transaksi sector private. Bagaimana dengan implementasi kartu kredit oleh Pemerintah? Kelebihan dan kekurangan penggunaan kartu kredit di sector swasta menjadi “pengingat” bagi pengelola keuangan di satker kementerian lembaga terhadap implementasi kebijakan kartu kredit. Apakah tepat penggunaan kartu kredit yang kental dengan konteks mengejar keuntungan dari bank penerbit kartu kredit terhadap pembayaran belanja di satker kementerian lembaga yang bersumber dari APBN? Apakah prinsip profit oriented dapat diterapkan dalam dunia birokrasi?
Implementasi prinsip-prinsip yang ada pada sector swasta bukanlah hal yang tabu diterapkan pada dunia birokrasi. Sejalan dengan pemikiran dari Osborne dan Gabler (1992) bahwa untuk meningkatkan kinerja organisasi pemerintahan secara optimal dalam pengelolaan sumber dayanya, maka ia harus mengikuti prinsip-prinsip yang dianut organisasi bisnis. Organisasi pemerintah harus memiliki semangat kewirausahaan seperti yang dimiliki organisasi bisnis dalam pemnfaatan sumber daya guna meningkatkan produktifitas dan efektifitas. Prinsip ini dikenal dengan entrepreneurial government Jadi yang diadopsi adalah semangat kewirausahaannya dan bukan profit oriented.
Salah satu bentuk entrepreneurial government adalah penggunaan kartu kredit dalam transaksi pemerintah. Dasarnya adalah bahwa penggunaan kartu kredit dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan Negara.
Pertimbangan berikutnya adalah untuk Cash Management, kartu kredit dapat menunjang likuiditas dan efisiensi kas negara. Kartu kredit dapat meminimalisasi peredaran uang tunai (cashless society). Sebagai salah satu alat pembayaran lewat mekanisme Uang Persediaan dapat mengurangi uang mengendap (idle) di rekening kas bendahara pengeluaran. Dalam bahasa awam Bank penerbit kartu kredit menalangi tagihan kepada vendour.
Jauh akan memberikan manfaat jika uang dikelola oleh Bendahara Umum Negara. Uang tersebut dapat memberikan nilai tambah (advalue) jika dikelola untuk keperluan lain misalnya penempatan-penempatan jangka pendek yang berisiko rendah.
Pengggunaa kartu kredit sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia birokrasi karena penggunaan kartu kredit juga merupakan best practice di Negara-negara maju. Jadi implementasi kartu kredit oleh pemerintah di Indonesia juga merupakan benchmarking dari praktek yang sudah ada.
Dasar penggunaan kartu kredit oleh Pemerintah berdasarkan PMK No. 196/PMK.05/2018 tentang Tata cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah yang kemudian dirubah denganPMK No. 97/PMK.05/2021 tentang Perubahan atas PMK No. 196/PMK.05/2018 tentang Tata cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah. Penggunaaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dimaksudkan untuk penyelesaian tagihan kepada negara melalui mekanisme UP. Sebelum ketentuan ini, konsep pengelolaan Uang Persediaan (UP) adalah dana UP Tunai 100% baik di brankas maupun kas di Bank. Porsi UP Tunai dan UP KKP adalah 60:40, namun diperkenankan untuk melakukan perubahan porsi. Usulan perubahan porsi diajukan oleh satker kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat.
Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah untuk belanja pemerintah difokuskan pada keperluan belanja barang operasional serta belanja modal dan perjalanan dinas. Belanja tersebut merupakan bagian terbesar dari penggunaan Uang Persediaan. Besaran jumlah KKP disesuaikan dengan kebutuhan Satker dengan batasan total limit seluruh kartu paling banyak sebesar UP KKP.
Seperti halnya penggunaan Kartu Kredit di sektor privat, penggunaan KKP harus mematuhi mekanisme yang diatur dalam regulasi KKP. Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah merupakan bank yang sama dengan tempat rekening Bendahara Pengeluaran (BP)/Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) dibuka. KPPN melakukan monitoring kesesuaian Bank Penerbit KKP dengan rekening BP/BPP dibuka. Berikutnya penerbitan KKP oleh Bank selanjutnya dapat dilaksanakan transaksi oleh pemegang kartu kredit.
Pemakaian KKP dilaksanakan dengan prinsip transparan dan bertanggungjawab. Berbeda dengan kartu kredit perorangan, Kartu Kredit Pemerintah dalam pengelolaannya memiliki administrator. Administrator KKP adalah pegawai/pejabat yang ditunjuk untuk melakukan administrasi penggunaan KP termasuk memantau penggunaan Kartu Kredit Pemerintah oleh pemegang kartu kredit. Administrator dapat mengaktifkan dan menonaktifkan kartu kredit. Pemegang KKP harus menyimpan semua bukti pengeluaran atas penggunaan kartu kredit dan menyerahkannya kepada Pejabat Pembuat Komitmen sebagai dasar verifikasi, pembayaran tagihan serta pertanggungjawaban uang persediaan.
KKP dapat dimanfaatkan untuk melihat pola perilaku satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dalam pengelolaan anggarannya, karena setiap transaksi langsung tercatat secara elektronik. Penggunaan belanja dan besaran rupiah tercatat secara detail. Kondisi ini dapat menjadi sumber masukan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan keuangan Negara.
Pada awal penggunaan KKP ada ada kekhawatiran terkait pengenaan biaya tambahan dan pengenaan pajak. Namun regulasi telah mengatur secara tegas bahwa pembayaran dan penggunaan KPP bebas dari biaya, kecuali bea materai. Merchant dilarang mengenakan surcharge kepada Pemegang KKP.
Penyelesaian perpajakan atas pembayaran dengan KKP sesuai dengan ketentuan perpajakan. Bagi Bendahahara Pengeluaran, penggunaan KKP memudahkan dalam melaksanakaan pembayaran terutama pemungutan pajak atas transaksi kena pajak. Transaksi yang dibayarkan dengan KKP oleh bendahara pengeluaran tidak wajib melakukan pemungutan. Pajak-pajak baik PPN, PPH pasal 22, dipungut , disetor, dan dilaporkan sendiri oleh Vendor.
Penggunaan KKP mengutamakan transaksi pengadaan barang/jasa yang merupakan produk dalam negeri yang disediakan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Sarana yang digunakan lewat katalog elektronik dan toko daring yang disediakan oleh lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, maupun marketplace berbasis platform pembayaran pemerintah yang disediakan oleh Kementerian Keuangan.
KKP dengan perbankan dapat digambarkan seperti mentega dan roti yaitu tidak dapat dipisahkan dan peranan perbankan sangat kuat. Sebagai contoh untuk memberikan keleluasaan bagi satker dalam bertransaksi dengan pilihan vendour yang lebih banyak, perbankan seharusnya memfasilitasi dengan perluasan merchant yang menggunakan EDC. Bagi dunia perbankan implementasi KKP merupakan kesempatan untuk meningkatkan market share dan sekaligus meningkatkan cash flow bank.
Implementasi kartu Kredit Pemerintah (KKP) sangat prospek dalam peningkatan kinerja pengeloaan keuangan Negara. Urgensi kesuksesan tidak semata-mata tanggung jawab Ditjen Perbendaharaan namun perlu komitmen semua stakeholder untuk pengembangannya.
*Salah satu Pejabat Pengawas padaKanwil DJPb Propinsi Sumatera Utara
Discussion about this post