Oleh: Barran Hamzah Nasution
Waspada.co.id – Isu lingkungan hidup kini telah menjadi isu global yang sangat penting mendampingi agenda klasik dalam politik internasional, yakni isu keamanan dan ekonomi. Dalam perkembangannya, kepedulian terhadap isu lingkungan hidup semakin meningkat dan meluas, dan kemudian menjadi isu global disebabkan oleh: Pertama, beberapa masalah lingkungan hidup secara inheren bersifat global. CFCs (chlorofluorocarbons) yang terlepas ke atmosfer menyumbang masalah penipisan ozon stratospheric secara global dimanapun CFCs dipancarkan, seperti halnya dengan emisi carbon dioxide menyumbang terhadap perubahan iklim. Oleh karena efeknya bersifat global, maka masalah ini hanya bisa ditanggulangi melalui kerja sama global. Kedua, beberapa masalah dikaitkan dengan eksploitasi the global commons, yaitu: sumber-sumber yang menjadi milik bersama dari seluruh anggota masyarakat internasional, seperti samudera/laut, atmosfer, dasar laut dan ruang angkasa. Banyak yang berpendapat bahwa sumber-sumber genetik dunia merupakan sebuah sumber global yang harus dipelihara dan dipertahankan untuk kepentingan bersama.
Ketiga, banyak masalah lingkungan hidup yang secara intrinsik transnasional, dalam arti melewati batas-batas negara, bahkan sekalipun masalah-masalah tersebut tidak seluruhnya bersifat global. Keempat, banyak proses eksploitasi yang berlebihan atau degradasi lingkungan hidup yang secara relatif dalam skala lokal atau nasional, dan ini terjadi di sejumlah besar tempat di seluruh dunia, yang kemudian dipandang sebagai masalah global. Sebagai contoh, masalah-masalah yang mencakup praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, deforestasi, polusi sungai dan banyak masalah lingkungan hidup yang dikaitkan dengan urbanisasi dan praktik-praktik industri.
Di era globalisasi, kelestarian lingkungan hidup menjadi hal penting untuk diperhatikan dan diupayakan. Kebijakan dan upaya pengelolaan lingkungan hidup diperlukan guna mengimbangi pesatnya pembangunan serta lingkup kegiatan manusia yang semakin menyinggung ranah tataran kelestarian lingkungan hidup. Selaras dengan hal tersebut, demi menjaga kelestarian lingkungan hidup maka dewasa ini konsep green economy terus digaungkan. Pada sektor perbankan pun terdapat istilah bank hijau (green banking). Green banking adalah suatu institusi keuangan yang memberikan prioritas pada keberlanjutan (sustainability) dalam praktek bisnisnya dimana pada pemahaman ini green banking bersendikan empat unsur kehidupan yakni nature, well-being, economy dan society. Bank yang “hijau” akan memadukan keempat unsur tadi ke dalam prinsip bisnis yang peduli pada ekosistem dan kualitas hidup manusia.
Masukujjaman dan Aktar mendefinisikan green banking sebagai “bank yang eco-friendly atau ramah lingkungan, yang menghindari kerusakan lingkungan hidup sehingga bumi menjadi tempat tinggal yang habitable atau layak huni dengan melalui penyediaan green product yang inovatif untuk mendukung inisiasi green banking”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa inti dari green banking system adalah upaya untuk memperkuat kapabilitas manajemen risiko bank, khususnya yang terkait dengan lingkungan, dan mendorong perbankan untuk meningkatkan sustainability bisnis yang berpedoman pada energi yang terbarukan, efisiensi energi, pertanian dan pariwisata, lingkungan hidup serta berbagai produk yang merupakan kategori eco-label. Langkah ini merupakan wujud pemahaman bank terhadap potensi risiko kerusakan lingkungan dalam aktivitas keuangannya yang dapat berdampak negatif terhadap penurunan nilai keuangan dan reputasi bank yang terkena dampak.
Konsep bank hijau (green banking) pertama kali dikembangkan di negara-negara barat. bank hijau (green banking) secara resmi dimulai pada tahun 2003 dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup. Pada bulan Maret 2009, anggota kongres Amerika Serikat Chris Van Hollen memperkenalkan Green Bank Act dengan tujuan mendirikan suatu bank hijau di bawah kepemilikan pemerintah Amerika Serikat. Setelah memperkenalkan bank hijau (green banking), gagasan awal penerapan bank hijau (green banking) adalah untuk meminimalkan penggunaan kertas pada kegiatan bisnis perbankan dikarenakan untuk membuat kertas-kertas tersebut diperlukan penebangan pohon-pohon sebagai bahan mentah dalam pembuatan kertas-kertas tersebut (hal tersebut mengurangi hutan hijau) dan karena alasan tersebut secara alami mengurangi oksigen dan meningkatkan karbon dioksida di udara. Green banking sendiri melakukan langkah-langkah proaktif untuk melindungi lingkungan dan mengatasi tantangan perubahan iklim.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UUP) sebenarnya secara implisit telah mencantumkan kewajiban pelaksanaan green banking pada bank-bank di Indonesia yaitu di dalam Penjelasan angka 5 pada Pasal 8 ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa “bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan”. Namun, di Indonesia belum terdapat peraturan yang memadai mengenai penerapan green banking. tidak ada satu ketentuan manapun yang secara tegas mengatur kewajiban bagi suatu bank untuk mencantumkan ketentuan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
*Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Discussion about this post