JAKARTA, Waspada.co.id – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, Partai Demokrat yang mengubah sistem pemilu proporsional tertutup atau coblos partai menjadi sistem proporsional terbuka atau coblos caleg. Hal ini menanggapi pernyataan Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mempertanyakan kegentingan perubahan sistem pemilu di tengah tahapan Pemilu 2024.
Hasto mengingatkan, pada tahun 2008 ketika SBY menjabat di periode pertamanya, sejumlah kader Demokrat melakukan perubahan melalui judicial review sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi. Saat itu empat bulan sebelum Pemilu 2009.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” ujar Hasto dalam keterangannya, Minggu (19/2).
Kata Hasto, judicial review itu dilakukan oleh Demokrat sebagai strategi kemenangan pemilu untuk bisa meraih kenaikan suara 300 persen.
“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen, sehingga mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” tuturnya.
“Judical review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDI Perjuangan juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review. Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada zaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” ujar Hasto.
Ia menyebut sistem pemilu proporsional terbuka yang dilakukan ketika masa SBY digerakan oleh kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” ungkapnya.
Hasto bilang, ada etika yang dilanggar karena undang-undang digerakan untuk kepentingan kekuasaan partainya.
“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempertanyakan wacana perubahan sistem pemilu di tengah sedang berjalannya tahapan Pemilu 2024. Menurut SBY, tidak tepat mengubah sistem pemilu tanpa adanya kegentingan.
“Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?” ujar SBY dikutip dari keterangannya pada Minggu (19/2).
“Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan,” imbuh dia.
SBY mengatakan, mengubah sistem pemilu sangat memungkinkan. Namun, pada situasi tenang atau tidak ada kejadian luar biasa, perubahan sistem pemilu harus dilakukan dengan berembuk bersama.
“Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa ‘tenang’, bagus jika dilakukan perembukan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK,” ujar SBY. (merdeka/pel/d1)
Discussion about this post