MEDAN, Waspada.co.id – Harga beberapa kebutuhan pangan pokok seperti beras, daging ayam dan bawang putih mengalami kenaikan di Kota Medan belakangan ini.
Sementara untuk minyak goreng, cabai merah, dan cabai rawit mengalami penurunan. Dari pantauan PIHPS, harga beras kualitas bawah rata rata di Kota Medan naik Rp150.000 per Kg. Harga beras kualitas bawah saat ini dijual dikisaran Rp10.150 hingga Rp10.350 per Kg nya.
Sementara daging ayam saat ini dijual dikisaran Rp29.500 per Kg, lebih mahal dibandingkan dengan harga daging ayam selama februari akhir yang berada dikisaran Rp28.500 per Kg. Bahkan selama bulan maret ini harga daging ayam sempat diperdagangkan dikisaran Rp31.100 per Kg nya. Dan untuk bawang putih, saat ini dijual dikisaran rata rata Rp29.800 per Kg.
Trend harga bawang putih sendiri mengalami kenaikan sejak September yang sempat ditransaksikan dikisaran Rp20.000 per Kg nya.
Untuk sejumlah harga yang mengalami penurunan yakni cabai merah yang berada dikisaran Rp31.200 per Kg. Lebih murah dibandingkan dengan harga di bulan februari yang pernah menyentuh Rp44.000 per Kg. Untuk cabai rawit harganya di kota medan turun dari posisi Rp40.000 per Kg saat januari, menjadi Rp29.200 per Kg saat ini.
Lalu minyak goreng curah juga mengalami penurunan dari Rp15.000 per Kg menjadi Rp14.000 per Kg belakangan ini.
Untuk kenaikan harga beras, daging ayam dan bawang putih faktor pemicunya adalah kenaikan harga jual barang tersebut, yang banyak dipengaruhi oleh kenaikan biaya input produksi, harga pembelian dari Negara asal serta fluktuasi nilai tukar rupiah.
Sementara untuk penurunan harga cabai merah dan cabai rawit ini lebih dipengaruhi oleh produktifitas tanaman cabai yang meningkat. Sementara untuk harga minyak goreng turun dikarenakan sejumlah upaya pengendalian harga yang dilakukan pemerintah.
Melihat harga yang masih cukup fluktuatif menjelang ramadhan ini, Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin menerangkan permintaan atau demand kerap mengalami kenaikan.
“Jika selama ini kita selalu berupaya untuk memenuhi pasokan agar harganya bisa dikendalikan. Tetapi sebenarnya ada cara lain yang bisa dilakukan dengan menjaga demand supaya tidak naik, yakni dengan mengedukasi masyarakat untuk berperilaku bijak dan hemat,” terangnya, Rabu (15/3).
Trend permintaan kerap mengalami kenaikan yang tinggi saat menjelang perayaan keagamaan, seperti Ramdahan dan Idul Fitri, serta Natal dan Tahun Baru, yang menjadi pertanyaan selama ini adalah kenapa harus ada kenaikan.
“Kenapa kita tidak bisa makan dan minum dalam jumlah yang sama dengan hari biasa dan selalu ada kenaikan konsumsi saat perayaan keagamaan. Dan sebagai contoh pada hakekatnya puasa justru memang melatih kita untuk menahan lapar,” ucapnya.
Jadi ada budaya yang berkembang dan menjadi kebiasaan di mana masyarakat lebih banyak menghabiskan uang untuk makan dan minum selama perayaan keagamaan.
“Dan saya meyakini bahwa budaya tersebut bukan lahir dari ajaran agama. Mungkin ada yang berpendapat bahwa dengan banyak konsumsi maka banyak pelaku usaha yang hidup, dan ekonomi berputar,” ucapnya.
Memang hal tersebut benar adanya, tetapi perlu dikaji lagi plus minusnya dengan pola konsumsi seperti itu. Karena pada dasarnya berhemat akan membuat orang berpeluang memiliki investasi dan tabungan yang lebih banyak.
“Dan konsumsi pangan yang naik dalam waktu yang pendek, ini kerap tidak bisa diimbangi dengan peningkatan produksi dari petani atau peternak, sehingga inflasi tak terelakkan, dan jika diakumulasi akan memicu kenaikan bunga acuan, dan bisa memicu penambahan angka kemiskinan,” tandasnya. (wol/eko/d2)
Discussion about this post