SIMALUNGUN, Waspada.co.id – Proyek rehabilitasi jaringan irigasi DI Kerasaan 5.000 hektare di Kabupaten Simalungun tahun anggaran 2022 senilai Rp11,4 miliar banyak kejanggalan. Pasalnya pekerjaan dinilai amburadul tidak sesuai dengan bestek.
Terlebih pekerjaan melewati waktu tapi tidak selesai. Ironisnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) irigasi dan rawa II BWS II Sakban Arifin Panggabean bersama kontraktor CV Gunung Hermon diduga kongkalikong atau secara bersama mencairkan sisa dana proyek 100 persen.
Zakaria Rambe SH, salah satu Pengamat Sosial dan Hukum Sumut, saat dimintai tanggapannya oleh Waspada Online via chat WhatsApp, Kamis (30/3), sangat menyangkan jika ada dugaan indikasi merugikan keuangan negara yang melibatkan oknum pejabat dan kontraktor.
“Bila pengerjaan terus dikerjakan sementara kontrak sudah selesai maka wajib diduga terjadi kejahatan proyek dalam kegiatan yang menyedot uang rakyat,” katanya.
Zakaria Rambe yang juga Ketua Jaringan Masyarakat Pemantau Kepolisian Sumatera Utara (Jampi Sumut) dengan tegas mengatakan, seharusnya pihak pemberi kerja menghentikan kegiatan di ujung tahun dan menghitung persentase kerja pihak rekanan sesuai nilai kontrak.
“Pihak kejaksaaan dan kepolisian seharusnya tanggap, ini harus di usut. Jangan dugaan kejahatan ini cuma jadi isu liar di media karena bisa menjatuhkan wibawa negara,” cetusnya.
Diingatkan Zakaria, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) dan inspektorat jangan terkesan mandul menghitung kerugian keuangan negara.
“BPK-RI dan inspektorat jangan terkesan mandul untuk menghitung kerugian keuangan negara. Khususnya proyek rehabilitasi jaringan irigasi DI Kerasaan 5.000 hektare di Kabupaten Simalungun TA 2022 menelan biaya Rp11,4 miliar. Proyek tersebut diduga banyak kejanggalan, pasalnya pekerjaan dinilai amburadul yang tidak sesuai dengan bestek,” imbuhnya.
Diketahui dana proyek bersumber dari Loan ADB dan AIF TA 2022 dengan nomor kontrak HK.02.03/IR-II/2022/01 tanggal 13 Juli 2022 dikerjakan CV Gunung Hermon dengan supervisi PT Konsulindo Citra Ernala.
Pantauan Waspada Online belum lama ini di lapangan, proyek berlokasi di Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun. Proyek rehabilitasi jaringan irigasi DI. Kerasaan 5.000 hektare sebesar Rp11.439.999.900 disinyalir mengalami keterlambatan dalam pekerjaannya.
Tampak beberapa item pekerjaan seperti pasangan tembok penahan tanah di lokasi Bendung Sipalaka dan di beberapa titik di lokasi pekerjaan terindikasi asal jadi oleh penyedia jasa.
Data diperoleh, durasi waktu pelaksanaan yang diberikan Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II SNVT Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air Sumatera II selaku pihak pemberi kerja selama 170 hari kalender dimulai 13 Juli 2022 hingga 29 Desember 2022. Namun kenyataan di lapangan pekerja belum juga selesai dikerjakan.
Akan tetapi pihak BWS Sumatera II melakukan pembayaran kepada pihak kontraktor sebesar 100 persen setelah melakukan serah terima pekerjaan (PHO) walau kenyataan di lapangan proyek belum selesai.
Kejanggalan selanjutnya, tahapan proses administrasi dilakukan owner dan rekanan pada saat proses amandeman kontrak tidak melibatkan tim perencana saat melakukan kajian teknis hasil rekayasa lapangan mutual check awal (MC-0).
Perubahan desain yang sangat signifikan atau tidak sesuaian rencana awal dengan kondisi di lapangan harus melibatkan tim perencanaan.
Disinyalir perubahan volume dan panjang penanganan pekerjaan pengadaan dan pemasangan beton pracetak lining (K-225) diawal perencanaan panjang 3,2 KM atau 1.200 M3. Kini menjadi 1,2 KM atau 510 M3 berubah sekitar 40 persen yang bisa dikerjakan dari rencana awalnya tanpa melibatkan tim perencana.
“Saya menilai adanya pemaksaan penyerapan dana dengan melakukan penambahan panjang penanganan galian manual yang awalnya 10 Km menjadi 16 Km,” sebut Ketua GMP Sumut Idris Sarumpaet.
Dirinya juga meragukan adanya kejanggalan dengan menukar desain saluran dari semula beton pracetak menjadi saluran pasangan batu berikut plesteran. Hal ini menimbulkan item baru pada divisi pekerjaan saluran yang jauh lebih menguntungkan penyedia jasa.
“Kajian teknis dalam hal ini tanpa melibatkan tim perencana awal berindikasi dapat merugikan keuangan negara cukup besar,” kata Idris.
Idris menambahkan, dirinya menaruh kecurigaan adanya kongkalikong pejabat dan kontraktor selaku penyedia jasa.
Apabila melakukan amandemen final kontrak tidak dilakukan pengukuran akhir hanya berdasarkan asumsi hasil pengukuran awal sebagai dasar pembayaran 100 persen (final quantity).
“Diharapkan para pihak penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi Sumut, Polda, BPK-RI dan Inspektorat melakukan fungsinya dengan baik dan jujur agar memeriksa serta memproses hukum aktor dibalik semua ini,” pungkas Idris. (wol/rsy/d1)
Editor: FACHRIL SYAHPUTRA
Discussion about this post