Dengan bangunan yang ikonik seperti gedung Merdeka, Gedung De Vries, Museum Asia Afrika dan masih banyak lagi. Tidak heran jika semua orang berada di jalan nan penuh sejarah ini hobi untuk berswafoto.
Namun di balik cantik dan menawannya Jalan Asia Afrika, di sebelahnya tepat dibelokkan Jalan Cikapundung Barat berdiri seorang lelaki setengah baya bernama Simon dengan kumpulan kisah dia memilih bertahan berjualan buku di pinggiran jalan.
Lapak buku Simon terbilang cukup rapuh, sewaktu-waktu dapat diterjang angin besar yang membawa air hujan. Karena cuma dengan selembar terpal yang melindungi buku-buku Simon dari panas dan air hujan.
Lelaki dengan rambut yang mulai dipenuhi uban tersebut, mengakui berjualan buku karena hobi membaca.
Pemantik hobi membaca buku, tumbuh ketika Simon harus putus sekolah di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD). Penyebabnya yakni orang tua yang tidak mampu untuk membiayai dirinya sekolah.
Simon tidak menyerah, kala itu ia benar-benar ingin menjadi orang pintar dan berawal di situlah Simon kecil hobi membaca buku. Seiring berjalannya waktu, pada 1979 dia memutuskan untuk berjualan buku untuk memenuhi ekonomi dan keinginannya berbagi ilmu.
“Makin banyak baca buku kan tidak ada ruginya. Kalau udah selesai dibaca bisa dijual lagi. Buku bagus harga juga naik,” jelas Simon.
Macam buku yang ada di lapak Simon pun beraneka ragam. Tersempil juga di sudut-sudut lapak, majalah-majalah lama Netgeo dan Fashion.
Berbeda dengan toko buku dengan merk ternama, lapak buku Simon ini mayoritas menyediakan buku-buku kuno. Jadi tidak heran jika tulisan dalam buku menggunakan ejaan jadul dan warna kertas yang coklat menandakan usia buku yang tak lagi muda.
Simon mengaku miliki buku kuno paling tua dicetak pada tahun 1800. Karena buku-buku kuno itu, Simon mendapat uang puluhan juta dari seorang tokoh politik Indonesia mendatangi lapaknya untuk membeli buku kunonya.
Dengan pengalaman yang kurang mengenakkan karena putus sekolah, Simon tidak ingin pelajar lain merasakan hal yang dialaminya.
Untuk itu, Simon bertekad jika ada pelajar atau mahasiswa membutuhkan buku dan tidak mempunyai uang lapaknya sangat terbuka untuk meminjamkan buku.
“Asal terbuka, tidak punya duit mau baca silahkan mau pinjam boleh dengan catatan jangan dipinjamkan lagi,” ujar Simon.
Naik Turun Jual Buku
Pada rentang 2015 hingga 2017 menjadi puncak di mana pembeli memenuhi lapak buku di Jalan Cikapundung Barat termasuk lapak milik Simon.
Lalu mulai 2019 dan dihantam pandemi Covid-19 penjualan buku merosot drastis. Walaupun mengalami penurunan penghasilan, Simon dan rekan-rekannya tetap bertahan untuk berjualan buku.
“Tidak mau pindah usaha ke usaha yang lain, karena sangking cintanya pada buku dan ikut mencerdaskan anak bangsa,” tutur Simon.
Bukti kecintaannya kepada jendela dunia membuat Simon tidak ingin berjualan selain buku.
“Kalau disuruh kerja tenaga mau, tapi kalau berjualan selain buku tidak mau. Karena sangking cintanya pada buku,” bebernya.
Walau terkendala ekonomi karena Covid-19, Simon tetap bersyukur. “Tergantung bagaimana ngaturnya, kalau kita dapat Rp1 juta (sehari) tapi tidak bisa ngatur ya kurang,” imbuh Simon.
Simon mengatakan makan enak untuk sekelasnya adalah hal yang hampir mustahil. Terpenting baginya yaitu keluarga dapat makan kenyang.
Biayai Sembilan Anak
Dengan berjualan buku, Simon membiayai anak-anaknya yang berjumlah sembilan orang. Dari total sembilan, Simon saat ini masih menyekolahkan tiga anaknya.
“SMK kelas tiga yang nomor tujuh, yang nomor delapan SMP, yang kesembilan SD,” jelas Simon. (wol/vin)
Editor: ANDA
Discussion about this post