Waspada.co.id – Sulit mendapatkan air bersih, sampah berserak, adalah gambaran umum tentang masyarakat yang bermukim di Kampung Nelayan Seberang, Belawan.
Kondisi itu berbarengan dengan terbatasnya akses pendidikan bagi anak-anak. Hanya terdapat satu sekolah dasar, tak ada tempat untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama.
Gambaran di atas hanyalah sebagian fakta yang dijumpai oleh siapa pun yang mampir ke sebuah perkampungan nelayan berjarak tak lebih 25 kilometer dari Pusat Kota Medan.
“Saya tanya, ternyata ada 300 murid SD. Kemana mereka melanjutkan sekolah setelah lulus?” Pertanyaan, atau lebih tepatnya gerutuan, terlontar begitu saja dari mulut Nikson Nababan saat mendapati kenyataan itu.
Ia sebelumnya memang belum pernah berkesempatan bersentuhan langsung dengan masyarakat di pesisir Belawan. Ya, selama dua periode Nikson Nababan memimpin pemerintahan di Tapanuli Utara, sebuah daerah otonom yang tidak memiliki wilayah laut. Wajar saja pria kelahiran Siborongborong ini jarang bersentuhan dengan pantai. Tapi, bukan berarti ia tak tertarik dengan dunia maritim.
Baru-baru ini, Maret 2024, ia melakukan studi tentang pariwisata pesisir di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, dan Raja Ampat, Papua Barat. Ia mendapati betapa di dua destinasi wisata bahari itu, kesadaran masyarakat akan kelestarian alam sudah sedemikian tinggi. Semisal, ada denda yang mengancam bila seseorang berani merusak terumbu karang.
Ibarat pepatah rumput tetangga lebih hijau, tak hanya mindset masyarakatnya yang sudah sedemikian terbangun, pemerintah di sana pun tak setengah-setengah dalam melakukan pendampingan kepada mereka yang ikut andil meningkatkan pemasukan asli daerah dari sektor kepariwisataan.
Berbanding terbalik dengan apa yang berlaku pada masyarakat pegiat usaha menengah kecil mikro di Kampung Nelayan Seberang.
“Saya juga menemukan ada UMKM, tetapi saya tanya itu sudah berapa tahun UMKM-mu, ada yang tiga bahkan lima tahun. Tapi, tidak ada pemerintah hadir untuk membantu mereka, dan itu hampir terjadi di sejumlah wilayah,” ungkap Nikson Nababan di sela aktivitas blusukannya, Rabu (8/5), di kampung yang berada di Kelurahan Belawan I, kawasan Medan Utara itu.
Jauh panggang dari api, jangankan memiliki izin usaha, akte notaris, label halal atau sertifikat apapun namanya yang mendukung usaha mereka, bisa berdagang saja sudah untung. Para pelaku UMKM di sana sangat minim dukungan infrastruktur.
Mereka benar-benar hanya menjual apa adanya hasil tangkapan nelayan. Padahal, nelayan di seputar Belawan adalah pemasok utama ikan bagi kota Medan dan sekitarnya.
“Nelayan di sana dan umumnya di Pantai Timur (Perairan Selat Malaka) Sumut, jangan dipandang sebelah mata. Mereka menyuplai kebutuhan Kota Medan dan hinterland-nya. Kalau mereka berhenti cari ikan, Medan kekurangan ikan!”
Jadi, lanjut Nikson, tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membantu mereka.
Para nelayan dan UMKM pesisir Belawan harus digiring agar masuk dalam sebuah sistem usaha yang benar-benar berkualitas, sehingga membuka pasar nusantara.
Jangan lupa, ujarnya, agar hasil tangkapan nelayan di Belawan ini diterima dengan baik di pasar, faktor higienis amatlah penting. Standar kesehatan harus dibenahi, dan itu bisa dimulai dengan membereskan persoalan sampah, kemudian membangun manajemen pengelolaannya dengan mendirikan pabrik pengolahan sampah.
Sedangkan dalam konteks membangun kawasan pesisir ini, selain persoalan sampah, mangrove dan terumbu karang harus dijaga kelestariannya. Di sana tempat ikan berkembang biak.
Tantangan terbesar kawasan pesisir adalah eksploitasi laut yang ugal-ugalan hingga merusak ekosistem. Ini tak boleh dibiarkan terjadi di laut Sumatera Utara.
Kembali, dalam membangun perkampungan nelayan, prasyarat utama adalah tidak boleh lagi ada daerah kotor atau kumuh dengan sampah berserak. Kesehatan masyarakat nomor satu.
Untuk itu, menurut Nikson, harus ada Puskesmas yang memberikan layanan 24 jam dengan tenaga bidan berstatus aparatur sipil negara (ASN).
Prasyarat berikutnya yaitu infrastruktur yang layak.
Pria kelahiran 5 Oktober 1972 ini merasakan sendiri betapa sulitnya blusukan di Kampung Nelayan Seberang. Sudahlah mencapainya harus menaiki boat dari Pelabuhan Titi Panjang, setiba di kampung itu, ia harus ‘bergoyang-goyang’ di atas titian papan untuk menyambangi rumah-rumah warga.
Beberapa hari berselang, penerima beragam penghargaan dari Pemerintah Pusat ini juga bersilaturahmi dengan warga di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Sabtu (11/5).
Bersama warga setempat, Nikson duduk bersila di atas pasir beralas terpal. Ia resapi aspirasi yang disampaikan warga. Nikson meyakini petani dan nelayan merupakan DNA Indonesia yang harus diutamakan dalam pembangunan. “Masyarakat petani dan nelayan wajib kita makmurkan,” tegasnya.
Tekad memberantas kemiskinan itu diucapkan langsung di hadapan warga Sergai. “Saya tidak didukung dengan uang. Saya tidak ingin jadi koruptor. Doakan saya bisa memimpin Sumatera Utara,” ucapnya, seraya memaparkan serangkaian visi dan misi yang fokus pada pembangunan infrastruktur jalan, pertanian, sekolah gratis, program lansia, dan berobat gratis.
Wisata Terpadu
Nah, sembari pesisir dibenahi, Pemerintah Sumatera Utara perlu melakukan upaya pengembangan wisata terpadu antara daratan dan bahari.
Tanah Batak itu sudah lama terkenal dengan destinasi wisata prioritas Danau Toba. Namun, tak hanya Danau Toba dan Pulau Samosir-nya itu yang memiliki pesona. Daya tarik alam pegunungan tersebut harusnya dapat dipadupadankan dengan wisata bahari.
Guna menyelaraskan Danau Toba dan wilayah pesisir yang tentu masih menang dibanding Bali; yang hanya mengandalkan laut, diperlukan konektivitas yang memudahkan para pelancong mengunjungi banyak tempat.
Sekali berkunjung ke Sumatera Utara, bisa melihat langsung ‘keajaiban’ danau vulkanis terbesar di dunia, sekaligus bersantai di pantai sambil menyantap ikan segar tangkapan nelayan dengan tujuan merangsang niat wisatawan berlama-lama di Sumut.
Tentunya, mencermati kebutuhan akan konektivitas, konsep Wisata Bahari bukan hanya penting diterapkan di pantai timur Sumatera Utara yang meliputi Langkat, Medan, Sergai, Tanjung Balai, Batubara, wilayah Pemekaran Labuhanbatu dan lainnya.
Tetapi juga, kawasan perairan pantai barat, seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, sebagian wilayah pemekaran Tapanuli Selatan dan Kepulauan Nias, juga harus diperhatikan.
“Melihat kondisi ini, untuk Sumatera Utara yang hebat, kampung nelayan harus dibantu dan akan menjadi skala prioritas tanpa membedakan kawasan pesisir Pantai Timur dan Pantai Barat. Pemprovsu harus membuat anggaran khusus untuk membangun kawasan bahari yang berkelas,” tandasnya. (wol/jps)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post