JAKARTA, Waspada.co.id – Guru Besar Ilmu Komunikasi se-Indonesia menggelar Seruan Moral Bela Negara Selamatkan Demokrasi Indonesia secara daring, Rabu (7/2) mulai pukul 13.00-15.00 WIB. Hal ini menyusul gerakan seruan moral Guru Besar lainnya yang bergema di tanah air.
Guru Besar Universitas Airlangga, Prof Dr. Henri Subiakto, Drs SH MSi mengatakan masyarakat Indonesia menikmati demokrasi sejak tahun 1998, atau tepatnya pasca demokrasi. Dengan adanya demokrasi, yang merupakan semangat juang teman-teman pada waktu memperjuangkan reformasi maka menghasilkan sebuah sistem, di mana sebuah kebebasan berpendapat bisa dinikmati.
“Orang-orang yang dulunya tidak mungkin menjadi pemimpin bisa menjadi pemimpin. Ada tukang kayu bisa menjadi wali kota, gubernur, dan lainnya. Padahal dulu, mereka yang bisa menjadi wali kota atau bupati, hanya mereka yang memiliki akses kekuasaan,” terangnya.
“Sekarang di Indonesia siapapun bisa menjadi pemimpin daerah, asalkan memiliki kompetensi dan kemampuan. Salah satu yang menjadi simbol kesuksesan demokrasi adalah Bapak Jokowi,” tegasnya.
Namun, saat ini tampaknya demokrasi tersebut mulai tercederai. Misalnya adanya persoalan terkait etika dan moral yang terjadi di bangsa ini sekarang.
“Dengan persoalan etika dan norma itu, membuat akademisi dan guru besar saat ini mengkritik hal tersebut. Yang mau saya tegaskan tidak ada mobilisasi terhadap para guru besar itu, melainkan karena adanya keprihatinan bersama,” terangnya.
Dirinya berharap pemerintah mau mendengarkan para akademisi serta guru besar. “Karena kami-kami inilah yang setiap saat mengajar mahasiswa soal etika. Namun saat ini sepertinya etika mulai diinjak-injak makanya kami ingin mengingatkan,” ujarnya.
Guru Besar Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ana Nadhya Abrar, M.E.S, menjelaskan bila yang dibutuhkan dalam permasalahan ini adalah prakarsa. Siapa yang membutuhkan prakarsa itu? Jawabnya tentu masyarakat dan pemerintah.
“Prakarsa untuk apa? Menyelesaikan masalah. Persoalannya adalah selama ini, kita yang berada di kampus dianggap tidak punya prakarsa. Apa buktinya? Karena mesin budaya yang bekerja selama ini hanya dua, yakni pengusaha yang ternama (oligarki) dan pemerintah. Merekalah yang selama ini menciptakan sistem sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, melalui DPR serta MPR,” kata Abrar.
Ia menegaskan agar para guru besar bisa menjadi mesin budaya maka haruslah memiliki prakarsa untuk menyelesaikan masalah. “Kita tentu punya kemampuan itu. Karena menyelesaikan masalah itu, kemampuan kognitif terakhir. Tetapi sayangnya kita dianggap tidak punya prakarsa,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. rer. Soc. Masduki SAg., MSi, selaku inisiator kegiatan Seruan Moral Bela Negara ini mengatakan, aksi ini didorong rasa keprihatinan atas krisis moralitas politik yang ditunjukkan oleh para elit politik.
“Kita melihat bahwa sampai hari ini situasi yang disebut dengan demokrasi substansial itu meredup ya makin hilang yang ada lebih pada prosedural,” kata Guru Besar pertama di Prodi Ilmu Komunikasi UII ini.
Dikatakan Masduki, para Guru Besar Ilmu Komunikasi se-Indonesia ini berkomitmen untuk edukasi melakukan kritik konstruktif dan juga mengawal partisipasi aspirasi publik.
Turut hadir pula dalam zoom, sejumlah guru besar lainnya seperti Prof Rachmat Kriyantono dan Anang Sujoko (Universitas Brawijaya), Prof Atwar Bajari (Universitas Padjajaran), Prof Iskandar Zulkarnain (Universitas Sumatera Utara), Prof Lely Arrianie (Universitas Nasional), dan lainnya. (wol/ari/d2)
Discussion about this post