TARUTUNG, Waspada.co.id – Ephorus HKBP Pdt Dr. Robinson Butarbutar, menyampaikan penolakan HKBP untuk ikut serta dalam pengelolaan wilayah pertambangan khusus, yang ditawarkan kepada kepada enam Ormas Keagamaan di Indonesia, termasuk Ormas Keagamaan Protestan.
Sejumlah Ormas Keagamaan seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sudah lebih dulu menyampaikan penolakan serupa.
“Dengan segala kerendahan hati, kami menyatakan bahwa HKBP tidak akan melibatkan diri sebagai gereja untuk bertambang. Kami sekaligus menyerukan agar di negeri kita pemerintah bertindak tegas terhadap para penambang yang dalam pelaksanaan tugasnya tidak tunduk pada undang-undang yang telah mengatur pertambangan yang ramah lingkungan,” kata Ephorus.
Ephorus menegaskan, berdasarkan isi Konvensi HKBP Tahun 1996, HKBP turut bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup yang telah dieksploitasi umat manusia untuk dan atas nama pembangunan.
“Namun sejak lama telah terbukti aktivitas pertambangan menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan hingga pemanasan bumi yang tak lagi terbendung, yang harus diatasi dengan beralih secepat mungkin kepada pendekatan penggunaan teknologi ramah lingkungan, green energy seperti solar energy, wind energy, dan yang lainnya,” ungkap Ephorus.
Sebagaimana diketahui, pada dua minggu terakhir, muncul kontroversi terkait rencana pemerintah untuk menyerahkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada enam Ormas Keagamaan.
Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam hal ini, pemerintah telah menyiapkan enam lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) untuk dikelola para ormas, yaitu; lahan bekas PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (Mau) dan PT Kideco Jaya Agung.
Menanggapi sikap HKBP, akademisi Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr. Dimpos Manalu menyampaikan dukungannya. Dosen mata kuliah ‘Isu-isu dan Kebijakan Lingkungan’ ini menyampaikan, Ormas Keagamaan sejatinya harus menjadi kontrol buat negara dalam menjalankan pemerintahan.
“Terkhusus, ketika negara cenderung membiarkan korporasi mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan merusak lingkungan, di situlah kehadiran mereka diharapkan untuk menyampaikan suara kenabian,” paparnya.
Ia menjelaskan, Ormas Keagamaan lahir dari ‘rahim’ rakyat, bukan negara. Mereka seyogianya mengabdi pada kepentingan rakyat.
Disebutkan, jika Ormas Keagamaan bertindak sebagai “pengusaha” atau layaknya korporasi. Mereka akan mengalami konflik kepentingan dan kehilangan posisi untuk bersikap kritis pada pemerintah dan korporasi.
“Lagi pula, pemberian izin pengelolaan atau pengusahaan tambang pada Ormas Keagamaan adalah bentuk lain dari ‘populisme’ yang dibangun Pemerintahan Jokowi selama ini. Populisme adalah gaya kekuasaan yang seolah-olah merakyat, namun maksudnya adalah mengurangi semangat dan sikap kritis pada kekuasaan,” paparnya. (wol/jps/d1)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post