MEDAN, Waspada.co.id – Dokter spesialis bedah saraf sekaligus juga tokoh yang didorong masyarakat untuk maju dalam kontestasi Pilkada 2024-2029, Prof Dr dr Ridha Dharmajaya Sp.BS (K), rela ‘dibedah’ oleh mahasiswa.
Situasi itu terjadi dalam sebuah dialog yang digelar BEM FISIP USU di gedung Aula FISIP USU, Kamis (13/6). Dalam acara yang memgambil tema ‘Mahasiswa Membedah, Apakah Medan Perlu Sosok Akademisi?’
Prof Ridha dicecar sejumlah pertanyaan terkait visi dan misi serta kebijakan yang akan diambilnya jika dirinya terpilih sebagai Wali Kota Medan.
Dialog yang dipandu Haris Martondi Hasibuan, membuka arah percakapan akan keresahan terhadap kondisi kota Medan saat ini.
“Kita berjalan di Medan masih banyak problem yang belum terselesaikan. Kita melihat pemerintah kota Medan saat ini lebih khusus kepada proyek, tapi tidak fokus terhadap dunia kesehatan, pendidikan, dunia kerja dan lainnya,” ujar Haris.
“Jika selama ini Prof Ridha membedah saraf pasien, hari ini Prof Ridha akan kita bedah sebagai calon wali kota,” sambungnya.
Haris mengaku heran, posisi nyaman Prof Ridha dengan profesinya sebagai spesialis bedah saraf dan juga jabatan guru besarnya tentu memiliki pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan menjadi seorang wali kota.
“Kita lihat gaji bedah saraf dan guru besar itu gajinya itu jauh lebih besar dari pada wali kota. Terus kenapa mau jadi wali kota? Sisa masa bakti yang masih panjang dan harus mundur jika nantinya maju wali kota, ini tentu pengorbanan yang cukup besar,” ujar Haris.
Menjawab hal itu, Prof Ridha dengan keyakinan mengaku ingin membuat satu kebaikan bagi Kota Medan.
“Terlalu besar untuk berpikir tentang Indonesia, tapi kita ingin membuat satu kebaikan bagi Medan. Moga ini nantinya jadi prototipe untuk Indonesia. Kita melihat UU Omnibuslaw kesehatan. Saya tahu persis karena saya bidang kesehatan. Jika kita berdiam diri maka kita akan jadi penumpang di negeri sendiri. Dimulai dari kota kita dulu. Bagaimana kita nanti akhirnya bisa berbuat untuk menyelamatkan anak bangsa,” tutur Prof Ridha.
Menyinggung konflik masalah Medan, dirinya tak ingin dipandang dari keahliannya sebagai seorang bedah saraf saja. Tapi bagaimana melihat masalah. Kapan dia harus bertindak dan menentukan putusan.
“Misalnya ketika kita berbicara keamanan. Kita gak bisa berbicara tentang cctv dan memperbanyak petugas kemanan, itu solusi primitif menurut saya. Kita harus cari akar masalahnya. Narkoba, pinjol dan lainnya. Sehingga banyak pemuda tak produktif dan tak mendapatkan lapangan kerja. Kita harus membedah dari semua sisi,” ujar Prof Ridha.
“Melihat lapangan kerja, kita lihat saat ini masyarakat tinggal di tengah-tengah industri, tapi banyak anak muda yang tidak bekerja. Mereka yang memiliki produktivitas tapi tidak mendapatkan kesempatan sehingga akan menimbulkan problematika lainnya. Menyikapi hal itu, pemerintah daerah bisa mengeluarkan kebijakan khusus dalam mengurai masalah tersebut,” ujarnya melanjutkan.
Dalam dialog itu juga, Haris menyinggung Prof Ridha yang bukan berlatarbelakang politisi dan tak memiliki partai politik, sehingga dikhawatirkan akan ada kepentingan yang dititipkan ketika dirinya memenangkan kontestasi dan menjabat wali kota.
“Tak memiliki partai politik sebagai perahu. Bagaimana menyikapi jika ada kepentingan yang nanti dititipkan kepada Prof dan tentu ini tidak sesuai visi dan misi prof?” tanya Haris.
Prof Ridha pun menjawab lugas dan tegas akan posisi tawarnya sebelum maju ke arena menunggangi perahu partai politik.
“Sejak awal kita berbicara dengan partai politiknya, apa idealisme kita? Ketika tidak berterima tentu partai politik akan mundur. Tapi kepentingan pasti ada. Pilkada memilih pemimpin bukan memilih partai. Sesuatu bersilang pendapat kita bisa berbicara kepada partai,” terangnya.
Sebelum mengakhiri, Haris menyentil culture koruptif para pemimpin kota Medan yang berhasil hatrick ke penjara karena korupsi.
“Saya tidak ingin berbicara ke depan tapi lihat apa yang telah saya lakukan. Boleh dilihat track record-nya semua lingkar pekerjaan dan kegiatan yang telah saya lakukan bersih dari korupsi.”
Prof Ridha menyebut, Kultur Koruptif semua tergantung siapa pemimpinnya. “Saya sudah komitmen dan itu ditandai dengan menghindari cukong. Ketika berbicara tentang money politic tentu saja pilkada butuh dana ratusan miliar. Tapi itu tidak berlaku dalam Pilkada bersih,” ungkap Prof Ridha.
“Bagaimana berhadapan dengan orang-orang penganut money politik dan pragmatis ini akan menjadi tugas berat yang kita hadapi sehingga ini alasan kita tidak ingin memakai cukong,” sebut Prof Ridha mengakhiri. (wol/rls/ags/d2)
Discussion about this post