Anak Kampung untuk Sumut 1
JAKARTA, Waspada.co.id – Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara Dr Nikson Nababan MSi berkunjung ke Kantor Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) di Jalan Veteran II, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
Kedatangan Nikson Nababan ke Kantor SMSI di Jakarta untuk bersilaturahmi dengan perusahaan media menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 di Sumatera Utara.
Kepada Ketua SMSI Pusat Firdaus yang didampingi Sekretaris Jenderal M. Nasir, Ketua SMSI Sumut Erris J Napitupulu, serta pengurus lainnya, Nikson memaparkan, sebagai Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara punya jurus jitu untuk membangun Sumatera Utara (Sumut).
Dengan pengalaman 10 tahun menjadi Bupati Tapanuli Utara, Nikson yakin Sumut mampu menjadi provinsi yang maju jika pembangunan dimulai dari desa.
Nikson menilai, desa yang kuat akan mampu menopang perekonomian sebuah daerah. Untuk itu, di awal memimpin Tapanuli Utara pada 2014, Nikson memberikan anggaran Rp 60 juta per desa. Anggaran ini untuk membangun desa secara fisik.
“Kenapa saya harus memerdekakan desa? Karena menurut saya, ilmu yang saya dapat adalah desa pusatnya raw material, di situ semua sumber daya. Maka desa harus merdeka, menjadi pusat ekonomi,” ujar Nikson
Tak hanya menyediakan dana, Nikson menilai, membangun desa membutuhkan infrastruktur yang memadai.
Untuk itu, dia fokus membangun jalan serta membuka akses 58 desa yang terisolasi. Namun, ini bukan perkara mudah karena terbentur anggaran yang terbatas.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Tapanuli Utara saat itu hanya sebesar Rp 800 miliar. Sementara, anggaran harus dibagi, di antaranya untuk membangun jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan, serta pengeluaran rutin pemerintah.
Nikson menghitung, total 1.000 kilometer untuk membuka 58 desa terisolasi. Sementara, jika menggunakan pihak ketiga untuk membangun jalan, biayanya berkisar Rp200 juta untuk satu kilometer atau total Rp2 triliun.
Tentu saja APBD Tapanuli Utara tak cukup. Nikson akhirnya memutar otak. Nikson kemudian membeli sejumlah alat berat dengan biaya Rp17 miliar. Pengerjaan jalan dilakukan sendiri oleh pemda.
Setelah 1.000 kilometer jalan dituntaskan, Nikson menghitung bahwa penghematan biaya mencapai Rp 1,95 triliun dari Rp 2 triliun biaya yang diperlukan.
“Kemudian tahun lalu kita sudah 1.000 km yang kita tuntaskan. Kita hitung biaya pemeliharaan ini itu habis sampai tahun 2023 sebesar Rp 50 miliar. Tapi sudah menghasilkan 1.000 km di angka (biaya) Rp 2 triliun. Jadi saya efisiensi anggaran itu Rp1,95 triliun,” ujar Nikson.
Kini, tak ada lagi desa terisolasi di Tapanuli Utara. Semuanya sudah terhubung dan mampu menjalankan roda perekonomian. Ditambah, semua desa di Tapanuli Utara kini sudah teraliri listrik. “Desa harus interkoneksi, dia enggak boleh satu jalur, dia harus terkoneksi juga ke desa yang lain biar lancar ekonomi,” ujar Nikson.
“Tak ada lagi desa di Tapanuli Utara yang tak merdeka. Tak ada lagi desa di Tapanuli Utara yang tak teraliri listrik,” tambah Nikson.
Memanfaatkan ‘Lahan Tidur’ Nikson juga punya cara lain membangun desa, yaitu dengan memanfaatkan lahan tidur jadi produktif dan bermanfaat bagi masyarakat. Dia membuat program mekanisasi pertanian agar produktivitas pertanian semakin meningkat. Program ini juga muncul dilatarbelakangi usia produktif di Tapanuli Utara yang menurun.
Dengan program ini, Nikson menggencarkan pengolahan lahan tidur gratis. Dia membeli tujuh traktor berbiaya Rp 12 miliar yang diambil dari APBD. Adapun operator, biaya solar, dan pemeliharannya ditanggung APBD.
Pemkab Tapanuli Utara mengolah lahan tidur milik warga secara gratis. Dengan catatan, luas lahan di bawah 2 hektare. Dengan cara ini, ada 6.000 hektare lahan tidur yang kembali produktif. Jika dihitung, seandainya pengolahan lahan tidur berbayar, maka dibutuhkan anggaran mencapai Rp600 miliar dengan asumsi Rp3 juta per hektare jika menggunakan pihak ketiga.
Sementara, dengan strategi yang Nikson lakukan, biaya yang diperlukan hanya Rp 24 miliar. “Saya sudah efisiensi anggaran ratusan miliar,” ujar Nikson.
Sementara, masyarakat yang mempunyai lahan tidur dengan luas di atas 2 hektare, juga dapat memanfaatkan program ini dengan harga sewa yang jauh lebih murah dibanding menggunakan pihak swasta.
Sejumlah program Nikson selama 10 tahun akhirnya membuahkan hasil. Salah satunya terlihat dari tren angka kemiskinan yang menurun.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2015, kemiskinan di Tapanuli Utara mencapai 33.700 jiwa, pada 2016 turun menjadi 33.200 jiwa, sementara pada 2017 kembali naik menjadi 33.750 jiwa.
Kemudian pada 2018 turun signifikan menjadi 29.200 jiwa, pada 2019 kembali turun menjadi 28.570 jiwa, dan terus menurun pada 2020 menjadi 28.410 jiwa.
Sementara, pada 2021, angka kemiskinan naik menjadi 29.720 jiwa, pada 2022 turun lagi menjadi 27.470, dan pada 2023 kembali turun menjadi 26.390 jiwa.
Discussion about this post