JAKARTA, Waspada.co.id – Kebijakan Pemerintah Pusat tentang pertambangan, alih-alih mendorong percepatan kesejahteraan rakyat, kenyataannya bagi rakyat Aceh justru menjerumuskan mereka ke jurang kemiskinan.
“Contoh kasat mata di antaranya pencabutan kewenangan Aceh di bidang Minerba yang diamanatkan pada Pasal 156 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menegaskan bahwa (I) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya,” ungkap Pemerhati Aceh Sri Radjasa MBA, dalam rilisnya, Jumat (21/6).
Ironinya, kata Sri Radjasa, pencabutan kewenangan Aceh di bidang Minerba dilakukan oleh Pemerintah Pusat hanya dengan Surat Nomor: 1481/30.01/DJB/2020 ditandatangani langsung oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin.
“Dalam surat tersebut, terhitung sejak 11 Desember 2020, pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara akan beralih ke pemerintah pusat,” ungkap Sri Radjasa.
Bahkan, lanjut Sri Radjasa, belum lama ini Pemerintah Pusat justru mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam PP No. 25 tahun 2024 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang melegalkan Ijin Tambang untuk Ormas Keagamaan yang sangat bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba dan terkesan diskriminatif.
“Rakyat Aceh khususnya mengharapkan kemudahan Ijin Wilayah Pertambangan Rakyat, dapat diberikan kewenangannya kepada Pemerintah Aceh sebagaimana diamanatkan oleh UUPA No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, bukan PP No 25 Tahun 2024 yang diskriminatif,” lanjut Sri Radjasa.
Sri Radjasa membeberkan, perlu menjadi catatan Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Jokowi, bahwa permohonan penerbitan Ijin WPR yang diajukan oleh Pemerintah Aceh kepada Menteri ESDM, sampai saat ini tidak satu pun terealisasi.
“Bahkan ada dugaan permohonan Ijin WPR yang diajukan Pemerintah Aceh kepada Menteri ESDM, sama halnya dengan melemparkan lembaran kertas ke tong sampah,” ungkap Sri Radjasa.
Sri Radjasa membeberkan, kontribusi investor hanya membayar pajak, retribusi dan CSR.
“Lebih memprihatinkan lagi, masih ada Bupati/Wali Kota di Aceh yang terkesan menghambat proses permohonan Ijin WPR. Ijin WPR sesungguhnya solusi terbaik, bagi percepatan kesejahteraan rakyat dan menjadi pemacu berkembangnya koperasi tambang rakyat, sebagai mana yang telah dicanangkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menggalakan koperasi sebagai sentra pertumbuhan ekonomi rakyat,” kata Sri Radjasa.
Perlu diingat kembali oleh Pemerintah Pusat, kata Sri Radjasa, bahwa UUPA adalah komitmen perdamaian yang dicapai melalui pengorbanan yang tidak kecil dari rakyat Aceh dan Indonesia.
“Oleh karenanya jangan sekali-kali menghianati komitmen damai yang telah dituangkan dalam UUPA. Terlebih lagi menyangkut kekayaan alam Aceh yang merupakan pemicu terjadinya konflik Aceh. Jangan lupakan sejarah konflik Aceh, jika tidak ingin perdamaian Aceh tinggal sejarah,” pungkas Sri Radjasa. (wol/rls/asred/d1)
Discussion about this post