Catatan Hendry Ch Bangun
Waspada.co.id – Seberapakah nilai rasa aman? Tergantung siapa kita. Nilainya relatif, bisa tinggi, bisa sedang, biasa saja, atau tinggi sekali. Bahkan di antara orang yang memiliki level, pangkat, atau jabatan sama.
Dan tentu bisa dipengaruhi bagaimana kita menilai diri kita sendiri. Apakah penting, sangat penting, biasa saja, bahkan tidak perlu dinilai. Tetapi yang pasti semua orang ada nilainya. Titik temunya bisa antara nilai diri kita sendiri dan nilai dari kondisi luar. Pada saya nilai itu kadang bergeser, naik dan turun, tapi tidak banyak.
Dan terkait dengan rasa aman, ada faktor penentu juga. Misalnya begini. Kalau Anda berangkat ke airport untuk penerbangan pagi sehingga berangkat dari rumah sekitar pk 03.00 atau 04.00, Anda pilih apa? Diantar sopir atau anak?
Bawa mobil sendiri lalu taruh di parkir inap bandara? Diantar taksi seperti Bluebird yang punya reputasi? Atau angkutan online yang standar supir kadang tidak sama?
Untuk orang biasa, bukan pejabat yang punya supir, tentu cari yang paling aman. Kalau tidak ngantuk, badan fit, bawa mobil sendiri. Kalau mau praktis ya naik taksi, bermerk atau mobil online atau bisa juga naik Damri yang jadwal keberangkatan belum tentu pas. Pilihan menentukan konsekwensi biaya.
Saya biasanya pilih taksi resmi atau mobil online. Saya takut ngantuk dan lalai di jalan, kalau bawa mobil sendiri. Kalau disupiri, rugi di bensin dan biaya tol sebab pulang pergi.
Pilihan ini karena pengalaman sebelumnya. Kalau taksi bermerk seperti Bluebird, kalau tidak pesan dulu, sulit dididapat cocok waktunya di jam sibuk subuh itu. Kalau mobil online, lebih mudah dan juga lebih murah kecuali minta mobil luks.
Tapi ada persoalan juga terkadang. Supir taksi pasti sehat dan fit, karena dia sudah disiapkan untuk bekerja sejak dini hari atau subuh. Tetapi supir online, ada yang siaga, ada yang setengah ngantuk.
Untuk mengurangi rasa khawatir terhadap kondisi supir ini, saya selalu menyiapkan permen di tas. Kadang air minum kemasan juga. Mengunyah permen yang manis bisa membuat mata mereka lebih nyalang, segar. Begitupun meneguk air putih.
Taksi cenderung lebih tertib juga di jalan tol. Kecepatan terukur, kecuali diminta ngebut untuk mengejar jadwal. Itupun tidak akan lebih dari 100 km/jam. Perilaku saat menyupir juga tidak menciptakan rasa was-was.
Supir online pun umumnya sopan dan tidak ugal-ugalan, tapi tetap saja kalah dari supir taksi resmi yang terikat peraturan perusahaan. Kondisi ini membuat banyak orang di terminal kedatangan, rela antri lama untuk mendapatkan angkutan yang memberi rasa aman. Entah itu taksi atau angkutan mobil online yang terdaftar.
Itulah antara lain konsekuensi dari rasa aman di jalan raya. Ada aman, ada biaya. Begitupula di angkutan penerbangan. Mereka yang berprinsip yang penting sampai, cenderung memperhatikan faktor harga. Selisih Rp100 ribu saja bisa membuat pilihan berubah.
Atau bisa juga karena faktor waktu. Karena dianggap pas dengan jadwal aktivitasnya di tempat tujuan atau saat mengejar kepulangan.
Meski bisa juga kecele. Maunya cepat dan murah, jadinya terlambat dan bikin lelah. Jadwal hancur berantakan. Belum lagi kalau ada bagasi, tidak terjamin akan utuh dan tidak diutak-atik ketika kita tiba di tujuan.
Sebenarnya rumusnya ya sederhana saja. Kalau mau cari penerbangan murah, ya ada sejumlah risiko. Siapkan diri agar meski nanti kecewa, tidak terlalu besar. Siapkan camilan dan minuman, misalnya, agar tidak semaput.
Saya pribadi, dengan segala kondisi sudah punya preferensi untuk bepergian lewat udara. Kalau kantong fit dan lebih dari satu jam, ya Garuda. Kalau kantong agak tipis ya Citilink, atau sekarang ada Pelita meski jangkauannya masih terbatas.
Mengapa? Pertama, ya tadi rasa aman. Ketika terbang saya percaya pesawat sudah disiapkan dengan baik, layak terbang 100 persen. Tidak dag dig dug, sehingga cemas sepanjang penerbangan.
Percaya juga bahwa kru penerbangan dalam kondisi fit dan sehat ketika membawa kita ke langit dalam situasi yang kita tidak tahu. Mereka kompeten, meyakinkan, dan bekerja sesuai standar yang ditetapkan.
Tentu saja ada konsekuensi biaya. Kadang selisih harga puluhan persen. Tapi merawat kesehatan jantung dan psikis juga tidak murah, kalau kita lalu dilanda kecemasan akut karena kerap takut dan merasa tidak aman.
Tadi, pilihan sering dipengaruhi pengalaman. Seperti juga terjadi pada berbagai aspek kehidupan yang dijalani. Sesama masakan Padang, ada yang memilih restoran ini dan restoran itu, banyak bukan karena enaknya. Tapi juga suasana tempat dan higienitasnya.
Kalau sedang bokek dan kepepet, kita bisa saja mampir di kedai pinggir jalan yang kita belum tahu apa dan bagaimananya. Tapi secara umum, pilihan ditentukan preferensi. Dan faktornya ya rasa aman dan nyaman itu tadi.
Usia akan berpengaruh, meski tidak harus. Makin tua, makin senja, makin mencari makna hidup, pilihan biasanya akan semakin bijak. Memilih karena ingin hidup aman dan nyaman di atas segalanya. Tidak mau was-was. Tidak mau dilanda khawatir. Menjadikan kesehatan di atas segalanya.
Orang muda tentu lebih cenderung bertualang dalam segala hal. Lebih menantang dan berani mencoba suatu yang berisiko atau bahaya. Karena bisa jadi aneka pengalaman membuat mereka kelak lebih matang dan siap dalam menjalani hidup.
Segmen inilah yang menciptakan kelas kebutuhan, termasuk kelompok jenis angkutan darat maupun udara, kuliner, hotel, ataupun tujuan wisata. Pesan bijaknya, sesuaikan diri Anda. Jangan ambil risiko yang tak diperhitungkan.
Siapkan diri, walau semua yang terjadi di dunia ini tetap saja adalah Kuasa Allah SWT.
Wallahu a’lam bhisawab.
Semarang, 29 Juni 2024
*Penulis adalah Ketua Umum PWI Pusat
Editor: AUSTIN TUMENGKOL
Discussion about this post