JAKARTA, Waspada.co.id – Film Dokumenter berjudul ‘Dirty Vote’ mendadak viral di berbagai tayangan media massa, baik jejaring internet dan pemberitaan televisi. Tayangan ini sontak mengejutkan kubu pendukung salah satu capres, yang menuding tayangan tersebut berbau fitnah.
Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman menyebut bahwa film tersebut justru mengutamakan narasi kebencian dan tuduhan yang disampaikan tidak ilmiah.
“TKN menanggapi sebagai berikut. Bahwa di negara demokrasi semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun, perlu kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang bernada asumtif, dan sangat tidak ilmiah,” kata Habiburokhman di Media Center TKN, Jakarta Selatan, Minggu (11/2).
Habiburokhman pun turut mempertanyakan kapasitas tokoh yang terlibat dalam film tersebut.
Diketahui, yang terlibat yakni 3 ahli hukum tata negara seperti Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
“Dan saya kok merasa sepertinya ada tendensi, keinginan untuk mensabotase pemilu. Bukan mensabotase lah, ingin mendegradasi pemilu ini, dengan narasi yang yang sangat tidak mendasar,” ujar Habiburokhman.
Selain itu Habiburokhman juga menyampaikan, jika film ini sengaja dirilis di hari masa tenang pemilu.
“Ya karena cara-cara yang fair untuk bertarung secara elektoral sudah tidak mampu lagi mereka lakukan,” imbuhnya.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil merilis film dokumenter tentang desain kecurangan pemilu.
Moment Masa Tenang Pemilu 2024
Dokumenter berjudul “Dirty Vote” tayang hari ini mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal YouTube.
Dirty Vote persisnya dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini.
Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo.
Tentu saja penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data.
Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Sederhananya menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” kata Bivitri dalam keterangannya, Minggu (11/2/2024). (wol/wartakota/pel/d2)
Discussion about this post