MEDAN, Waspada.co.id – Perjalanan hidup manusia memiliki cara dan ceritanya masing-masing, baik dalam membangun dan memperjuangkan hidup untuk mendapatkan titik pencapaian.
Seperti perjuangan hidup salah seorang anak muda asal Kota Medan yang pernah bekerja menjadi seorang buruh bangunan dengan gaji harian dan kini suskes menjadi seorang jurnalis muda dan pemandu acara terkenal.
Eko Kurniawan, atau nama panggung Eko Rore alias “Pak Eko”, pemuda berusia 29 tahun ini mengawali karir di dunia jurnalistik dan master of ceremony atau pemandu sejak tahun 2012.
Berawal dari mimpinya yang mengidolakan sosok pembawa acara tanah air, Adi Nugroho dan Choky Sitohang, Eko pun berkeinginan mengikuti jejak dua artis tersebut. Selain itu, tertariknya ia terhadap dunia broadcasting akhirnya mengantarkannya mengemban pendidikan Ilmu Komunikasi di tahun 2012 setelah tamat Sekolah Menengah Atas.
“Jadi dulu, waktu jaman Sekolah Dasar suka tampil depan umum, waktu itu ingat moment acara Academy Fantasi Indosiar (AFI), suka peragain di depan kawan-kawan sekolah, jadi pembawa acara, ya gak pernah mikir sekarang memiliki profesi pembawa acara. Karena dulu memang suka tampil aja, akhirnya masuk SMP, kalau ada acara pentas seni, aktif beranikan diri untuk jadi pembawa acara atau MC, sampai ke jenjang SMA sangat tertarik untuk jadi pembawa acara, pada saat SMA juga sering tampil acara-acara sekolah,” cerita Eko.
Tahun 2012, tamat dari SMA ingin melanjutkan ke perguruan tinggi dan akhirnya mencari universitas yang memiliki jurusan broadcasting atau publik speaking, karena ingin terus belajar dan mengembangkan bakat di dunia pemandu acara.
“Terus mencoba peruntungan ikut jalur undangan SNMPTN, ambil jurusan Ilmu Komunikasi di UIN Jakarta dan UIN Bandung, tak lulus, setelah itu tidak mau lagi coba universitas negeri, langsung mencari informasi, tanya ke sana kemari, akhirnya ketemu sama Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” (STIKP) Medan, kebetulan ada jurusan jurnalistik dan Public Relation, tanpa berfikir panjang langsung daftar dan akhirnya menjalani kuliah di sana,” ucapnya.
Ia juga menceritakan, perjalanan kuliah tak seindah yang dibayangkan, karena pada saat itu kedua orang tua memberikan piliihan mau kerja atau kuliah, jika mau kuliah silahkan cari biaya sendiri karena kondisi ekonomi pada kala itu yang tidak mencukupi.
“Ya, optimis dan bismillah, memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri, namun sambil bekerja agar dapat uang masuk untuk bayar kuliah, akhirnya ikutlah kerja sama om saya, jadi buruh bangunan posisinya sebagai kernek tukang pasang keramik. Selama kuliah di awal kerja sampingan dengan gaji Rp45 ribu per hari, kalau diingat-ingat sangat lelah pekerjaan pada saat itu, kita harus bisa angkat batubata, angkat semen, angkat pasir, tapi saya yakin dan peraya kerja keras seseorang akan ada hikmahnya,” ungkap Eko.
Di tahun 2013 awal, mencoba perutungan cari kerja, pada saat itu melamar di salah satu perusahaan otomotif sepeda motor sebagai sales dan dituntut untuk jualan produk sepeda motor sebanyak-banyaknya.
“Akhirnya berhenti, jadi buruh bangunan, kerjalah jadi sales, selama jadi sales berfikir terus gimana caranya bisa jalan, karena kita bisa dapat gaji banyak kalau jualan unit sepeda motor pun banyak, ada target, saya syukuri semua pekerjaan saya, dan sampai di titik pernah selama sebulan tidak ada jualan dan hanya menerima komisi kantor Rp650 per bulan, terus saya berfikir ini sangat tidak cukup untuk bayar kuliah dan kebutuhan sehar-hari,” kata Eko.
Tak sampai setahun, memilih untuk resign jadi sales karena penghasilan setiap bulan tidak memenuhi kebutuhan untuk kuliah, dan memilih kembali menjadi seorang buruh bangunan.
“Balik lagi jadi buruh bangunan, dan alhamdulilah penghasilannya mencukupi untuk uang kuliah, karena terkadang kalau kita rajin sering dikasih gaji tambahan, sampai 2014, dan pada tahun yang sama, dihadapkan dengan sebuah masalah besar, orang tua harus berpisah, kuliah berantakan karena pernah terlilit hutang dan dijauhi sama teman-teman di masa kuliah, hancur sehancur hancurnya, bahkan sampai tidak bekerja lagi tapi status kuliah masih aktif,” ungkap eko sambil menitihkan air mata.
“Jatuh sakit, keluarga broken, kuliah berantakan, dan akhirnya saya jalani selama setahun, 2014 setelah setelah Lebaran hati saya terketuk dan mendapatkan semangat dari beberapa orang untuk saya melanjutkan hidup, memberanikan kuliah lagi walau kondisinya harus dijauhi temen-temen, dan menjalani hidup dengan keluarga yang masih hancur. Tahun 2014 akhir bergabunglah dengan salah satu perusahaan media, dan ketika bergabung di media tersebut sampai sekarang, saya benar-benar serius untuk mengubah hidup saya, alhamdulllilah dapat gaji dan pelan-pelan untuk nabung dan membayar uang kuliah, karena saya berfikir bahwa kuliah ini harus selesai,” ucapnya.
Tahun 2015, semangat untuk bangkit dari keterpurukan terus menggebu, disibukkan dengan dunia jurnalis dan job MC yang mulai berdatangan, sambil menjalani kuliah yang tinggal beberapa semester lagi, dan tahun 2017 akhirnya tamat kuliah dan wisuda.
Eko juga bercerita, selama menjalankan profesi menjadi jurnalis dan MC serta memiliki bisnis wedding, tentu tantangan juga semakin besar, harus mengatur waktu dengan baik dan berusaha untuk terus belajar mengasa ilmu agar dapat menjadikan diri menjadi lebih baik.
“Jurnalis adalah pekerjaan yang tak kenal waktu, kapan kita ditugaskan kita harus siap, sebagai pelopor informasi jurnalis bagi saya adalah pekerjaan yang mulia, dan di samping itu, menjalankan profesi pemandu acara juga harus memiliki ilmu yang banyak berkomunikasi di depan umum, menjaga penampilan, mengasa ilmu, tidak malu untuk belajar, hingga tekun menjalankan bisnis tanpa menyingkirkan bisnis orang lain,” cerita eko.
Semua cerita hidupnya, mengantarkan kehidupan Eko Rore pada titik pencapaian yang diinginkan bekerja di dunia entertaiment dan memiliki ilmu di bidang komunikasi serta mengumpulkan pundi-pundi penghasilan untuk merubah hidup.
“Alhamdullilah, saya selalu bersyukur dengan apa yang Allah kasih sama saya, baik itu cobaan hidup, rezeki atau apapun itu, hingga pada waktunya saya bisa membantu biaya pernikahan dua adik saya,” ungkapnya.
Mengakhiri kisah hidupnya, Eko Rore, pemuda kelahiran tahun 1993 ini berpesan kepada diri sendiri dan kepada generasi muda lainnya untuk jangan menyerah karena itu bukan pilihan.
“Kita hidup harus punya mimpi dan tekad, itu semua bukan untuk orang lain, untuk diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik, perbaiki diri kita dulu, karena sesungguhnya musuh diri kita ya kita sendiri, harus punya semangat tinggi dan jangan malu untuk bertanya dan belajar dan terus belajar,” pesannya. (wol/eko/d1)
Discussion about this post