MEDAN, Waspada.co.id – Gejala awal Autisme secara medis dapat diketahui melalui tumbuh kembang bayi begitu pula Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang akan tampak saat anak menginjak pertumbuhan di usia tiga atau empat tahun.
Hal tersebut terungkap melalui bincang edukasi kesehatan anak bertajuk ‘ADHD Atau Autisme?’ yang diselenggarakan tim manajemen RS Siloam Dhirga Surya di kota Medan, Selasa (23/07/2024) sebagai rangkaian memperingati Hari Anak Nasional 2024.
Meskipun ada faktor pembeda usia dari tumbuh kembang bayi dan anak, dokter spesialis anak dari Siloam Hospitals Dhirga Surya, dr. Steven Guntur, Sp.A, NODGO (Rus)., menjelaskan, bahwa secara prinsip Autisme dan ADHD adalah hal yang sama, yaitu adanya gangguan pertumbuhan mental dan interaksi sosial. Gangguan tersebut diduga diakibatkan oleh masalah sensor pada sel saraf dan organ otak anak.
“Gangguan pertumbuhan ini dapat di deteksi sejak dini oleh orangtua. Misalnya, gejala autisme dapat dilihat ketika bayi usia enam bulan yang sulit untuk tersenyum. Sedangkan gejala ADHD itu timbul ketika anak berusia empat tahun, ditandai dengan sulitnya sang buah hati untuk fokus pada satu hal dalam satu waktu”, ungkap Steven Guntur melalui live Instagram yang disaksikan puluhan pasangan suami istri.
Adapun perbedaan utama antara ADHD dan Autisme dapat diketahui melalui :
1. Kemampuan batas fokus dan minat
2. Interaksi Sosial
3. Komunikasi
4. Prilaku dan Minat Khusus
5. Perilaku Repetitif dan Rutinitas
“Meskipun ADHD dan Autisme dapat terjadi bersamaan pada beberapa individu, penting untuk diingat bahwa keduanya adalah kondisi yang berbeda dengan karakteristik yang unik. Diagnosa dan perawatan untuk setiap kondisi dapat berbeda berdasarkan gejala yang dominan dan kebutuhan individu yang bersangkutan”, tutur dokter spesialis anak dari Siloam Hospitals Dhirga Surya, dr. Steven Guntur, Sp.A, NODGO (Rus)., menjelaskan.
Steven Guntur menambahkan, satu hal contoh dari perbedaan Fokus dan Perhatian, ADHD umumnya ditandai dengan masalah perhatian, impulsifitas, dan hiperaktivitas. “Anak pengidap ADHD mungkin kesulitan mempertahankan fokus pada tugas tertentu, sering bergerak tanpa henti, dan bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya. Sedangkan Autisme ditandai dengan kesulitan dalam berinteraksi sosial, komunikasi yang terbatas, serta perilaku repetitif. Fokus perhatian pada individu dengan autisme bisa jadi sangat intens terhadap minat atau aktivitas tertentu, namun mereka mungkin tidak mengalami hiperaktivitas seperti pada ADHD”, ungkap Steven Guntur, yang sangat dikenal luas oleh warga di kota Medan sebagai dokter spesialis anak yang ramah dan terpercaya.
Penyebab dan Penanganan
Dalam edukasinya, Steven Guntur turut menjelaskan sejumlah faktor resiko penyebab Autisme dan ADHD. Menurutnya, faktor resiko dimulai ketika calon ibu menjalani proses kehamilan hingga melahirkan bayi, yaitu terpapar zat/racun berbahaya melalui reaksi udara di tempat tinggal pun gaya hidup tidak sehat selama usia kehamilan.
Namun, dalam penelitian medis yang dilakukan di Korea Selatan dan China beberapa waktu lalu, Steven menjelaskan, penggunaan obat antibiotik selama kehamilan tidak termasuk faktor resiko calon bayi akan mengidap Autisme pun ADHD.
“Hindari paparan zat berbahaya dari racun obat serangga atau limbah lingkungan. Penggunaan obat secara kontinyu juga harus dikurangi. Faktor genetik cenderung memperkuat resiko autisme. Karena pola hidup sehat selama kehamilan hingga paska kelahiran harus dipertahankan”, tegas Steven Guntur mengingatkan.
Adapun dalam penanganan Autisme dan ADHD dapat dilakukan hingga anak kembali normal, melalui beberapa tingkatan penyembuhan, yaitu:
Pada intervensi dini yang telah terbukti efektif untuk anak dengan autisme adalah:
Terapi Perilaku Terapan (Applied Behavior Analysis – ABA), Terapi Bicara dan Bahasa, Terapi Okupasi dan intervensi Pendidikan khusus danTerapi Musik dan Seni yang dapat membantu anak dalam mengekspresikan diri.
*Pemberian Obat*, jika gejala ADHD menyebabkan efek negatif yang nyata terhadap kemampuan akademik dan sosial anak. Obat-obat yang biasa dipakai antara lain seperti Metilfenidat, atomoxetine atau risperidon dan golongan sejenis.Obat dimulai dengan dosis paling rendah yang dinaikkan perlahan-lahan sampai respon optimal.
Terapi Psikologi pada penangan ADHD dilakukan melalui Latihan Orang Tua dan Terapi Tambahan. Menurut Dokter Spesialis Anak, Steven Guntur, dalam tahap terapi tingkah laku, latihan untuk orang tua merupakan prioritas tertinggi.
“Tujuannya untuk mengajar orang tua bagaimana mengatur pembatas sekaligus insentif untuk tingkah laku yang tepat dan menimbulkan respon emosi destruktif”, ungkap Steven Guntur. Adapun pada terapi tambahan, dibutuhkan tergantung pada lingkaran keluarga dan anak. Terdapat keterbatasan usaha tradisional, psikoterapi individu untuk anak ADHD.
“Tujuan terapi ini adalah untuk memperbaiki harga diri. Tidak ada bukti bahwa psikoterapi individual memperbaiki kemampuan anak untuk memberikan perhatian atau mengurangi impulsif. Bila anak mulai menjadi lebih tua dan lebih waspada, psikoterapi dapat memfasilitasi pengertian bagaimana tingkah laku mempengaruhi yang lainnya”, pungkas Steven Guntur, dokter spesialis anak dari Siloam Hospitals Dhirga Surya, yang jadwal prakteknya dapat diketahui melalui aplikasi MySiloam. (Wol/ega/d1)
Discussion about this post