Waspada.co.id – Tawa adalah ungkapan rasa gembira, senang, dan geli. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai ekspresi suara itu. “Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya, terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati” (HR Tirmidzi).
Pesan Rasulullah SAW itu tidak berarti bahwa semua tawa adalah buruk. Sabda tersebut cenderung mengingatkan kaum muslimin agar tidak berlebihan dalam hal apa pun, termasuk tertawa.
Sama halnya dengan segala sesuatu dalam kehidupan, tertawa juga perlu dilakukan dengan proporsi yang wajar. Lantas, apa maksud “mematikan hati” dalam hadis di atas?
Seorang ulama ahli tafsir, Prof M Quraish Shihab menjelaskan, ajaran Islam mengimbau para pemeluknya agar menghadapi kehidupan ini dengan serius. Tidak menghabiskan waktu dalam kesantaian dan penuh gurauan.
Di samping hadis tentang tawa yang menyebabkan matinya kalbu, ada pula pesan Nabi SAW. “Ada orang mengucapkan satu kalimat untuk membuat tertawa orang sekitarnya, tetapi mengakibatkan ia meluncur lebih jauh menuju ke neraka.”
Menurut Quraish Shihab, riwayat-riwayat di atas, jika dinilai sahih, harus dipahami dalam arti lelucon yang “tidak lucu”, yakni menyakitkan hati serta melengahkan dari tugas-tugas pokok. Sebab, para nabi pun pernah tertawa tatkala mendengar ucapan atau melihat kelakuan yang memang lucu.
Misalnya, Nabi Sulaiman AS, sebagaimana diabadikan dalam Alquran. “Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu” (QS an-Naml: 19).
Menurut ummul mukminin ‘Aisyah, “Rasulullah SAW adalah seorang yang sering tersenyum dan tertawa.” Bahkan, lanjut Quraish Shihab, menurut riwayat lain, Nabi SAW pernah tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya. Walau demikian, tawanya beliau tidak terbahak-bahak. Rasul SAW pun tidak mengucapkan kecuali yang hak dan yang benar.
Sebagai contoh, pernah seorang wanita tua mendatangi Nabi SAW. Ia memohon didoakan agar masuk surga. Rasulullah SAW pun bersabda, “Surga tidak dimasuki oleh wanita tua.”
Nenek ini menjadi sangat kecewa. Seketika itu, Rasulullah SAW tersenyum dan mengingatkannya akan firman Allah:
اِنَّآ اَنْشَأْنٰهُنَّ اِنْشَاۤءًۙ فَجَعَلْنٰهُنَّ اَبْكَارًاۙ عُرُبًا اَتْرَابًاۙ لِّاَصْحٰبِ الْيَمِيْنِۗ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan yang penuh cinta (lagi) sebaya umurnya, (diperuntukkan)bagi golongan kanan (penghuni surga)” (QS al-Waqi‘ah:35).
Maknanya, orang tua di dunia apabila meninggal dan nanti masuk surga, maka ia akan kembali menjadi muda. Jadi, benarlah Rasulullah SAW bahwa “surga tidak dimasuki oleh wanita tua.”
Di lain waktu, seorang perempuan datang dan berkata kepada Nabi SAW, “Suami saya mengundang Tuan ke rumah kami.”
Nabi SAW pun menjawab, “Apakah dia yang di matanya ada sesuatu yang putih?”
Sang istri tidak membenarkan, tetapi Nabi SAW “berkeras” dan mengulangi ucapan beliau.
“Bergegaslah melihat suamimu, karena di kedua matanya ada sesuatu yang putih,” kata Rasul SAW.
Dan ketika sang istri menemui suaminya, sang suami menenangkannya dengan berkata, “Memang ada yang putih di mata saya, tetapi bukan penyakit. Tenanglah, wahai istriku.”
Maksud canda Nabi SAW itu adalah, semua orang ada putih pada matanya.
Aisyah berkata, “Pada suatu ketika, aku memasak makanan dan memberikan kepada Rasulullah SAW yang ketika itu berada bersama istri beliau, Saudah. Aku mengharap Saudah ikut makan, tetapi dia enggan karena tidak sesuai dengan seleranya.
Aku pun bersikeras sambil berkata, ‘Demi Allah, Anda harus makan. Kalau tidak, akan kukotori wajahmu dengan makanan ini.’
Saudah tetap bersikeras untuk tidak makan. Aku lalu mengambil sebagian dari makanan itu dan menempelkannya ke wajah Saudah.
Saudah pun melakukan hal yang sama kepada wajahku sambil tertawa. Rasulullah yang melihat hal itu pun ikut tertawa.”
Seorang sahabat Nabi, Hanzhalah pulang ke rumahnya setelah mengikuti majelis ilmu Rasulullah SAW. Saat bercengkerama dengan istrinya, ia bergurau sambil tertawa. Tiba-tiba, ia beristighfar karena merasa, apa yang sedang dilakukannya bertentangan dengan ajaran agama.
“Aduhai, aku telah menjadi munafik,” gumamnya.
Dia kemudian menemui Rasulullah SAW untuk mengadukan keadaan dirinya. Nabi SAW pun bersabda, “Wahai Hanzhalah, seandainya kamu sekalian terus-menerus dalam keadaan itu (terharu ketika Nabi mengajar di majelis, red), maka pastilah para malaikat berjabat tangan dengan kalian di tengah jalan. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, ada waktu untuk ini, dan ada juga waktu untuk itu.”
Jadi, Islam mengajarkan bahwa tiap momen ada proporsi masing-masing. Ada kalanya waktu bercanda dan melepas penat. Namun, ada pula waktunya untuk serius. (wol/republika/mrz/d2)
Discussion about this post