Oleh:
Prof. Dr. Zainal Arifin, Lc, MA
Waspada.co.id – Sebelum tahun 2021, sertifikasi halal di Indonesia sepenuhnya dikelola oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021, wewenang ini beralih ke Kementerian Agama (Kemenag) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Meskipun demikian, peran MUI tetap penting dalam proses sertifikasi halal. MUI: (1) Menetapkan kehalalan suatu produk melalui sidang fatwa, (2) Berperan sebagai pihak ketiga yang memberikan pendapat keagamaan terkait kehalalan produk. Sementara Kemenag (BPJPH): (1) Bertanggung jawab atas pelaksanaan sertifikasi halal secara administratif; (2) Menerbitkan sertifikat halal, (3) Mengelola sistem jaminan produk halal.
Artinya, berdasarkan PP No. 39/2021 ke depan lembaga yang menerbitkan logo halal hanyalah Kemenag (BPJPH). Namun, luar biasa kebijakan Kemenag RI di satu sisi, yang menimbulkan kebingungan konsumen di sisi lain, ialah: masih diberikan 5 tahun ke depan bagi MUI untuk terus menerbitkan sertifikat halal. Padahal MUI sudah tidak punya otoritas untuk menerbitkan sertifikat halal. Demikianlah kata promovendus dalam sidang terbuka an Muhammad Latip Kahfi pada Selasa, 30 Juli 2024, di aula KPI S3 FDK UNI SU Medan.
Lebih detail tentang proses Sertifikasi Halal menurut promovendus yang bertugas sebagai dosen di UIN Padangsidempuan tentang Permohonan Sertifikasi: yaitu bahwa pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikasi halal kepada BPJPH. Sedangkan penilaian kehalalan dilakukan dengan cara BPJPH melakukan penilaian awal terhadap produk. Sementara Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang ditunjuk melakukan pemeriksaan dan pengujian produk. Sidang Fatwa: MUI melakukan sidang fatwa untuk menetapkan kehalalan produk berdasarkan hasil pemeriksaan LPH. Terakhir yang terpenting bahwa Penerbitan Sertifikat, jika produk dinyatakan halal, BPJPH lah satu-satunya yang menerbitkan sertifikat halal.
Dia menambahkan bahwa perbedaan lainnya: (1) biaya, terdapat perbedaan biaya antara sertifikasi halal melalui MUI dan BPJPH. BPJPH menawarkan skema biaya yang lebih terjangkau dengan adanya opsi self-declare untuk produk yang berisiko rendah. (2) Prosedur, Proses sertifikasi halal melalui BPJPH umumnya lebih efisien dan terstruktur dibandingkan dengan sistem sebelumnya
Dari hasil sidang promosi ditambah dengan wawancara dan diskusi selepas promosi dan bacaan yang didapat menulis dapat menganalisis bahwa meskipun terjadi perubahan dalam pengelolaan sertifikasi halal, MUI dan Kemenag memiliki peran yang saling melengkapi. MUI bertanggung jawab atas aspek keagamaan, sementara Kemenag mengurus aspek administratif dan operasional. Kolaborasi antara kedua lembaga ini penting untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap sertifikasi halal di Indonesia.
Namun, Kemenag RI masih memberi ruang bagi MUI dari terbitnya peraturan ini untuk 5 tahun ke depan (2021-2026) batas akhir untuk MUI untuk mengeluarkan sertifikat halal. Ini proses kolaborasi sedang terjadi jika disosialisasikan dengan baik dan dihormati dengan legowo. Namun jika peraturan hingga batas akhir 2026 tidak diindahkan (semoga tidak), maka terjadilah perseteruan logo di tengah-tengah bangsa Indonesia. Saran dari promovendus, pemerintah dan MUI seharusnya sudah bisa mensosialisasikan PP ini sehingga yang tersisa di pasaran pada tahun 2026 hanya satu tidak dua yaitu logo wayang halal Kemenag RI. Ini baru kolaborasi, jika tidak, terkesan MUI dan Kemenag berseteru di pasar dengan logo halalnya masing-masing. Semoga PP 39/2021 bisa diindahkan oleh para ulama yang mengeluarkan hukum dan orang pertama yang harus tertib hukum. Semoga dapat berkolaborasi.
*Ka Prodi S3 KPI UIN SU Medan
Discussion about this post