MEDAN, Waspada.co.id – Harga jagung mengalami kenaikan yang cukup tajam belakangan ini.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, menuturkan harga jagung terpantau mulai mengalami kenaikan dari bulan Oktober tahun 2023.
“Di mana kala itu, harga jagung masih dikisaran Rp6.000 per Kg. Namun, saat ini harga jagung pipil sudah mencapai Rp7.700 per Kg nya. Sementara, jagung giling sudah mencapai Rp8.000 per Kg,” tuturnya, Jumat (16/2).
“Harga jagung tersbeut adalah harga dimana peternak membeli pakan (jagung). Kenaikan harga jagung tersbeut memang berpotensi membuat peternak daging ayam maupun peternak telur ayam mengalami kerugian. Terlebih untuk peternak daging ayam mandiri, karena kenaikan biaya input produksi tidak lantas membuat harga daging ayam dipasaran juga ikut naik,” tambahnya.
Dalam empat bulan belakangan harga daging ayam sempat ditransaksikan dalam rentang Rp23.000 hingga Rp32.000 per Kg. Saat ini harga daging ayam berada di kisaran Rp30.000 hingga Rp32.000 per Kg mengacu kepada PIHPS di Kota Medan.
“Padahal di saat harga jagung masih dikisaran Rp6.000 an harga kontrak di kandang berkisar Rp21.000 per Kg nya. Dengan harga segitu, maka harga keekonomian di pedagang pengecer sekitar Rp31.000 Rp33.000 per Kg nya,” ujarnya.
Sayangnya harga jagung yang naik belakangan ini, tidak lantas mendorong kenaikan harga daging ayam maupun telur ayam. Dan dari pantauan di pasar, dalam dua bulan terkahir saja terjadi kenaikan harga pakan ternak sebanyak Rp500 per Kg nya. Tetapi harga daging ayam mentok di angka Rp32.000.
“Memang kita mengkuatirkan gimana nasib peternak mandiri nantinya,” jelasnya.
“Karena mereka yang paling terdampak dengan kenaikan biaya input produksi tersebut. Sementara menaikkan harga justru bisa membuat konsumen beralih ke sumber pangan subtitusi seperti telur, tahu/tempe atau ikan segar,” tegasnya.
“Konsumen sangat sensitif dengan kenaikan harga belakangan ini. Dan dari beberapa kali menghitung ekspektasi produksi, penurunan produksi juga tidak lantas memicu kenaikan harga di level konsumen,” ungkapnya.
Dikatakan, jadi memang pasar daging ayam berpeluang membentuk struktur pasar oligopoli seperti yang disampaikan KPPU (komisi pengawas persaingan usaha) Sumut.
Tetapi mekanisme pasar yang membuatnya menjadi seperti itu. Perusahaan daging ayam terintegrasi memang berpeluang bertahan di tengah tekanan kenaikan biaya input produksi, dibandingkan dengan peternak mandiri.
“Tetapi jika nanti banyak peternak mandiri yang merugi atau bahkan gulung tikar karena kenaikan harga jagung. Dan menyisahkan peternak besar (perusahaan) terintegrasi, maka itu bukan salah mereka (perusahaan),” tuturnya.
“Mekanisme pasar yang membuat struktur pasarnya menjadi oligopoli. Saya harap KPPU bisa mendalami lagi dinamika pasar yang berkembang belakangan ini. Karena daya beli yang melemah membuat mekanisme pasar menseleksi produsen efisien yang mampu bertahan,” tutup Gunawan. (wol/eko/d2)
Editor: Ari Tanjung
Discussion about this post