PADANGSIDIMPUAN, Waspada.co.id – Puluhan mahasiswa di Kota Padangsidimpuan menggelar aksi unjuk rasa yang dramatis.
Tak hanya datang membawa spanduk dan suara, mereka juga membawa sejumlah bebek ke depan kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Padangsidimpuan, Jalan Serma Lian Kosong, Kamis (5/9).
Ini bukan sekadar aksi protes biasa, tetapi simbol penghinaan terhadap warga Kota Padangsidimpuan yang mengguncang fondasi hukum di kota ini.
“Kajari Padangsidimpuan di bawah komando Lambok Marisi Jakobus Sidabutar ini sama saja seperti bebek-bebek ini! Banyak bicara, tapi jalannya lamban, tak pernah sampai ke tujuan!” teriak Didi Santoso, koordinator aksi, dengan nada tinggi yang menggema di jalan.
Bebek-bebek yang berkeliaran di sekitar mahasiswa menjadi simbol sinis dari apa yang disebut sebagai “penegakan hukum yang tak kunjung tuntas”. Mahasiswa menyamakan penanganan dugaan kasus korupsi pemotongan Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 18% di setiap desa se-Kota Padangsidimpuan seperti suara “kwek kwek..kweeek” yang terus diulang-ulang tanpa hasil bagaikan bebek.
“Kami sudah bosan dengan janji-janji kosong! Bukti sudah ada, kepala desa sudah diperiksa, alat bukti elektronik juga sudah ditemukan, tapi semuanya cuma omong kosong seperti kwek kwek..kwek..!” lanjut Didi dengan nada yang semakin panas, disambut sorakan mahasiswa lainnya yang juga menirukan suara bebek.
Suasana di depan gerbang kantor Kejari Padangsidimpuan berubah menjadi teater kemarahan yang mengiris dan menyayat hati warga Kota Padangsidimpuan. Lebih dari sekadar retorika, mahasiswa tak segan menirukan suara dan pernyataan Kajari Doktor Lambok Marisi Sidabutar SH MH yang beberapa waktu lalu dalam konferensi pers menyatakan bahwa kasus tersebut sedang ditangani serius.
“Serius? Mana seriusnya? Sudah setahun lebih hanya jadi pembicaraan di media, tapi tak ada aksi nyata!” Didi menirukan kembali, kali ini penuh ejekan, diikuti gemuruh suara mahasiswa yang semakin menekan.
Lantas yang lebih membuat warga terkejut adalah pertanyaan keras yang dilontarkan mahasiswa tentang hukum yang dianggap tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hanya AN, seorang honorer, yang dijadikan korban dalam kasus ini, sementara mantan Kadis PMD IFS dan mantan Walikota Irsan Efendi Nasution masih bebas berkeliaran.
“Kenapa hanya Akhir Nasution yang jadi kambing hitam? Di mana keadilan untuk orang-orang yang punya jabatan tinggi? Hukum macam apa ini?” seru Didi lagi dengan nada getir, menggambarkan frustrasi mendalam yang dirasakan masyarakat.
Isu ini semakin membara saat Didi mempertanyakan keberadaan Ismail Fahmi yang sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), tapi tak kunjung ditangkap. “Sudah empat kali dipanggil, tapi tetap saja mantan walikota Padangsidimpuan, Irsan Efendi Nasution tak tersentuh hukum. Apa mereka kebal hukum?”
Di tengah ketegangan yang membara, Kasi Intelijen Kejari, Jimmy Pangaribuan, SH MH., muncul mencoba meredakan situasi. Namun, jawaban yang diberikan hanya membuat mahasiswa semakin geram.
“Kami akan menyampaikan aspirasi ini kepada pimpinan, dan tetap menindaklanjuti kasus ini. Tapi saat ini, sesuai perintah dari Kejaksaan Agung, penanganan kasus calon kepala daerah ditunda untuk menghormati Pilkada serentak,” ujar Jimmy, yang langsung disambut cemoohan dari para mahasiswa.
“Menunda kasus karena Pilkada? Apa ini pesta demokrasi atau pesta korupsi?” teriak salah satu mahasiswa dari kerumunan, melontarkan kritik pedas yang langsung disambut sorakan riuh.
Sidimpuan yang terkenal dengan kedamaiannya kini menjadi lautan protes dan kemarahan warga yang semakin tak terkendali.
Warga Padangsidimpuan kini bertanya-tanya, sampai kapan hukum hanya menjadi permainan mereka yang berkuasa? Apakah jeritan dan kemarahan yang seperti bebek ini akan tetap bergema, atau akankah keadilan akhirnya turun seperti petir yang menghantam kelamnya langit Sidimpuan? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi suara ‘kwek kwek’ akan terus mengiringi perjalanan kasus ini.
Mengapa Ketua Golkar Padangsidimpuan, Irsan Efendi Nasution Tak Terjamah Hukum oleh Kejari?
Di balik riuhnya protes terhadap lambatnya penanganan kasus dugaan korupsi pemotongan Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 18% di Kota Padangsidimpuan, muncul pertanyaan besar yang menyelimuti warga dan mahasiswa: Mengapa Irsan Efendi Nasution, Ketua Golkar Padangsidimpuan sekaligus mantan Walikota, seolah tak terjamah oleh hukum?
Irsan Efendi Nasution, sebagai saksi yang disebut-sebut memiliki peran penting dalam dugaan korupsi ini, hingga saat ini belum pernah disentuh oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Padangsidimpuan.
Meski sudah dipanggil empat kali sebagai saksi, Irsan tetap bebas berkeliaran tanpa ada tindakan tegas dari penegak hukum dan melenggang mendaftar ke KPU Kota Padangsidimpuan sebagai Bapaslon Walikota.
Hal ini menimbulkan spekulasi liar di kalangan masyarakat, apakah statusnya sebagai Ketua Golkar Padangsidimpuan yang memiliki pengaruh politik besar menjadi tameng yang melindunginya dari jerat hukum?
“Ada apa ini? Kenapa hanya yang lemah seperti honorer yang diseret ke jeruji besi, sementara mantan walikota yang punya pengaruh besar dibiarkan bebas? Apakah hukum hanya berlaku untuk mereka yang tak punya kekuasaan?” ujar salah satu mahasiswa dalam aksi unjuk rasa penuh emosional, mempertanyakan integritas dan keadilan hukum di kota ini.
Lanjut salah satu demonstran, padahal mantan Bupati Batubara baru-baru ini juga ditahan pihak Polda Sumut dalam kasus dugaan korupsi. Masyarakat mulai mengaitkan posisi strategis Irsan sebagai Ketua Golkar dengan kemungkinan adanya perlindungan politik.
Di tengah ketegangan menjelang Pilkada serentak, wacana ini semakin kencang berhembus. Golkar, yang dikenal sebagai partai besar dengan jaringan kuat, dituding bisa menjadi faktor yang membuat Kejari Padangsidimpuan terlihat “lembek” dalam menghadapi Irsan.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa politik dan hukum sering kali tumpang tindih. Apalagi di tahun-tahun politik seperti sekarang ini, di mana kekuasaan bisa menjadi alat untuk menghindari jerat hukum,” ungkap seorang pengamat politik lokal yang enggan disebutkan namanya.
Sikap Kajari Padangsidimpuan Dr Lambok Sidabutar SH MH yang menunda penanganan kasus ini dengan alasan menghormati Pilkada serentak juga dinilai sebagai langkah yang semakin memperkuat dugaan adanya intervensi politik dalam proses hukum.
Kejaksaan Agung memang mengeluarkan perintah untuk menunda penanganan terhadap para calon kepala daerah, namun banyak pihak merasa bahwa alasan tersebut hanya menjadi tameng untuk menunda keadilan.
“Ini bukan soal Pilkada atau tidak, ini soal keadilan. Jika memang Irsan terlibat, hukum harus ditegakkan. Jangan sampai hukum menjadi alat permainan politik,” tegas Didi Santoso, koordinator aksi.
Pertanyaan besar ini terus bergema di Kota Padangsidimpuan, dan sampai saat ini, belum ada jawaban yang jelas dari pihak Kejari. Apakah Irsan Efendi Nasution akan benar-benar tersentuh oleh hukum, ataukah dugaan kekuatan politik akan terus melindunginya dari tuntutan? Warga Sidimpuan hanya bisa menunggu, sambil berharap bahwa keadilan tak akan lagi terbelenggu oleh kekuasaan dan pengaruh politik. (acm/d1)
Editor: Ari Tanjung
Discussion about this post