JAKARTA, Waspada.co.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya 354 individu dari total 580 anggota DPR periode 2024–2029 memiliki latar belakang atau afiliasi dengan sektor bisnis.
Dengan kata lain, sekitar 61 persen anggota DPR merupakan politisi pebisnis. Salah satu hasil temuan itu dari hasil penelusuran cepat atau pendahuluan terhadap 580 anggota DPR terpilih sebagaimana tercantum dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1206 Tahun 2024.
“Dengan kata lain, sekitar 61 persen anggota DPR merupakan politisi pebisnis,” kata Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Yassar Aulia dalam keterangannya dikutip di Jakarta, Jumat (4/10).
Dia mengatakan permasalahan tersebut tidak jauh dari permasalahan laten DPR, yakni “lingkaran setan” korupsi politik. Secara sistem, ujar Yassar, biaya yang perlu digelontorkan untuk berpartisipasi dalam kontestasi elektoral di Indonesia dibuat menjadi begitu mahal, baik untuk kebutuhan kampanye resmi maupun untuk mengeluarkan “biaya gelap” seperti politik uang.
“Oleh karenanya, mereka yang mampu turut serta dalam politik praktis maupun pemilihan umum hanyalah individu-individu yang memiliki sumber daya material yang kuat atau setidaknya harus memiliki kedekatan dengan para pemodal-pemodal kaya,” jelas dia.
Menurut Yassar, fenomena tersebut pada gilirannya akan menimbulkan relasi rent-seeking atau perburuan rente.
“Sederhananya, biaya politik yang mahal akan ‘dilunaskan’ melalui kebijakan-kebijakan partisan atau bahkan tidak jarang melalui korupsi anggaran-anggaran publik,” ungkapnya.
Berdasarkan data KPK, kata dia, DPR bahkan menjadi salah satu lembaga terkorup. Sejak 2004 sampai dengan 2023, terdapat 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR.
Lebih lanjut Yassar menyampaikan selain biaya politik yang terlewat mahal, transparansi pengelolaan dana parpol yang minim serta tidak memadainya regulasi yang dapat menangkal masuknya kepentingan-kepentingan oligarki melalui sumbangan-sumbangan legal maupun ilegal kepada parpol menjadikan terjadinya pembajakan demokrasi di Indonesia.
“Ketergantungan partai politik dan para calon peserta pemilu kepada big donors menyebabkan politik transaksional menjadi suatu hal yang lumrah,” tutur Yassar.
Hal ini, kata Yassar, misalnya dapat dilihat dari bagaimana DPR selama ini menjalankan fungsi legislasi. Selama ini, DPR justru cenderung lebih kilat dan secara tidak partisipatif dalam membahas RUU yang jelas-jelas ditentang oleh publik dan mengabaikan sejumlah RUU yang bertahun-tahun mandek sekalipun telah didesak untuk segera disahkan.
Sebagai contoh, RUU Ibu Kota negara, RUU Cipta Kerja, RUU Mineral dan Batubara yang sangat kental dengan kepentingan elite dan ditentang publik malah dibahas dengan sangat cepat.
Sedangkan, RUU Perampasan Aset, Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sama sekali tidak diprioritaskan hingga periode DPR 2019–2024 telah berakhir. Dari total 263 RUU di Prolegnas 2019–2024, hanya 26 RUU yang berhasil disahkan hingga akhir masa jabatan DPR 2019–2024.
“Melihat temuan sementara dari ICW terkait latar belakang para anggota legislatif terpilih, sayangnya tren buruk di atas tampaknya akan terus berlanjut,” terang Yassar.
Dia menekankan, dengan banyaknya latar belakang politisi pebisnis di DPR periode ini, konflik kepentingan antara kepentingan privat (mengakumulasi keuntungan bisnis) dan kepentingan publik (yang mungkin tidak secara langsung “menghadirkan uang”) menjadi sulit terhindarkan.
Karena itu, ICW merekomendasikan 5 poin penting sebagai catatan rekomendasi terhadap persoalan-persoalan itu. Pertama soal adanya mekanisme manajemen konflik kepentingan melalui Kode Etik DPR atau setidak-tidaknya diatur secara internal oleh setiap partai politik.
Kedua, diperkuatnya kelembagaan partai politik, baik melalui proses kaderisasi yang lebih demokratis maupun dengan mengupayakan independensi sumber pembiayaan politik agar tidak tersandera kepentingan pendonor besar.
“Ketiga mereformasi skema pendanaan politik agar lebih transparan dan tidak terlalu mahal,” sebutnya.
Sedangkan yang keempat, kata Dia, mendorong adanya Undang-undang atau paket regulasi yang komprehensif guna menangani konflik kepentingan di jabatan publik;
“Kelima, masyarakat secara kolektif lebih intens melakukan pengawasan secara kolektif terhadap anggota DPR dan proses pengisian jabatan di komisi-komisi nantinya agar tidak sarat akan konflik kepentingan,” pungkasnya. (wol/inilah/man/d2)
Discussion about this post