PANYABUNGAN, Waspada.co.id – Dikutip dari beberapa sumber, masyarakat dan pengamat hukum, Ketua DPRD Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Erwin Efendi Lubis, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap PPPK memang terdengar begitu rancu.
Erwin diduga ‘ditumbalkan’. Karena informasi penetapan tersangka kabarnya hanya berdasarkan pengaduan dari seseorang yang menyebutkan dirinya menerima ratusan juta dari Erwin, tanpa ada saksi dan bukti yang mendukung keterangan.
“Secara hukum seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka itu berarti sudah memenuhi alat bukti yang kuat dan sah,” terang Praktisi Hukum, Irvan Syahputra.
Nyatanya, sudah tujuh bulan status tersangka Erwin ini masih juga mengambang. Bahkan berkasnya pun dikatakan sudah empat kali bolak balik dari Kejaksaan.
“Andaikata berkasnya sudah empat kali dikembalikan, kan tentunya kepolisian bisa melengkapi petunjuk-petunjuk jaksa, dan waktu menyelesaikan petunjuk itu 14 hari, kalau waktu 14 hari tidak dikerjakan ada indikasi apa?” ketus Irvan.
Namun bila ditelaah kembali dari awal, ternyata penetapan status tersangka ini setelah Erwin mengeluarkan rekomendasi pembatalan SKT Tambahan. Yang tampaknya kemudian ‘ditunggangi’ dan dimotivasi oleh kelompok tertentu seolah menjadi perseteruan antara Legislatif dan Eksekutif.
Padahal penerimaan tenaga honorer, pegawai atau pun PPPK itu ranahnya eksekutif. Bupati dan Wakil Bupati Madina-lah yang semestinya bertanggung jawab, kendati kala itu Sekda yang menandatangani SKT tambahan tersebut.
“Mungkin kalau diungkap, bisa jadi akan banyak yang terlibat,” kata seorang sumber.
Dan beberapa dari mereka berpendapat, jika hanya berdasarkan dari pengakuan sepihak, kemudian Erwin ditetapkan sebagai tersangka, lebih baik polisi SP3-kan kasusnya. Apalagi keinginan Erwin Efendi Lubis maju sebagai calon Pilkada Madina 2024 telah pupus, jika memang untuk menjegalnya.
“Jangan serta merta polisi menetapkan orang tersangka tapi tidak menyelesaikannya, karena ini melanggar hak asasi manusia. Polisi harus bertanggungjawab,” sambung Irvan, yang juga Direktur LBH Medan.
Putusan Hakim PN Medan
Sementara, menyoal putusan Hakim PN Medan, yang memvonis Dollar cs satu tahun penjara, Irvan juga menilainya tidak memberikan rasa keadilan hukum di masyarakat.
“Pencuri dan perampok saja bisa dihukum dua sampai tiga tahun, mengapa ini korupsi yang artiannya meluas dan sistematis hanya dihukum satu tahun. Kami LBH Medan menduga ini ada kejanggalan dalam putusannya,” sebut Irvan lagi.
“Mahkamah Agung seyogyanya memeriksa hakim-hakim tersebut. Apalagi Mahkamah Agung saat ini kan sedang bersih-bersih. Dan ini menjadi tonggak awal Mahkamah Agung untuk membersihkan lembaganya. Masak kasus korupsi ini dihukum 1 tahun,” tutupnya. (wol/wang/d2)
Discussion about this post