MEDAN, Waspada.co.id – Politik uang, meskipun terlihat menggiurkan, adalah jebakan manis yang menuntun rakyat pada jalan kehancuran. Apa yang dimulai dengan amplop berisi beberapa lembar rupiah berakhir dengan lima tahun penderitaan. Ironisnya, mereka yang menyerahkan hak pilihnya demi uang receh kemudian menjadi pihak yang paling lantang mengeluh ketika janji pemimpin tak ditepati.
Mimpi Demokrasi yang Dijual Murah
Tokoh Masyarakat Humbang Hasundutan (Humbahas), Dr. Hendri Tumbur Simamora, SE MSi menerangkan politik uang merampas hak rakyat untuk bermimpi. Suara yang seharusnya menjadi instrumen perubahan kini diperdagangkan seperti barang di pasar loak. Dalam demokrasi sejati, pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan visi mereka.
“Tapi di bawah bayang-bayang uang, pemilu berubah menjadi pelelangan, di mana yang berani bayar lebih mahal adalah pemenangnya, bukan karena mereka layak, tetapi karena mereka bisa,” terangnya.
Pemimpin Tanpa Kapasitas
Dikatakan, seorang pemimpin yang lahir dari uang akan memimpin dengan uang, bukan dengan hati. Ketika kompetensi diabaikan demi “amplop putih,” masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membangun dan membawa perubahan nyata.
Rakyat Dijadikan Tumbal Pengembalian Modal
Diakui, politik uang adalah investasi. Tetapi investasi siapa? Investasi calon, bukan rakyat. “Ketika seorang kandidat mengeluarkan miliaran rupiah untuk membeli suara, siapa yang akan membayar harga sebenarnya? Rakyat. Dalam bentuk proyek fiktif, infrastruktur setengah jadi, dan pelayanan publik yang mandek,” katanya.
Korupsi yang Mengakar
Politik uang, kata Hendri, adalah pintu gerbang menuju korupsi. Dari pejabat yang memanipulasi anggaran hingga pengusaha yang membayar untuk kebijakan menguntungkan, hasil akhirnya selalu sama: rakyat menjadi korban.
“Uang yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan malah masuk ke kantong pribadi segelintir orang,” tegasnya.
Ironi Rp273 Per Hari
Jika suara Anda dihargai Rp500.000 untuk lima tahun masa jabatan, itu setara dengan Rp273 per hari. “Dengan uang sebanyak itu, Anda bahkan tidak bisa membeli segelas kopi, tetapi Anda menyerahkan masa depan Anda untuk itu. Ketika harga suara menjadi serendah ini, apa artinya harga diri Anda?” tanyanya.
Politik Uang: Bukan Sekadar Amplop, tapi Perampasan Masa Depan
Mari diperjelas, politik uang bukan hanya tentang menerima atau menolak uang dalam amplop. Itu adalah siklus penghancuran yang dimulai dari ketidak pedulian rakyat dan berakhir dengan keruntuhan nilai-nilai demokrasi.
“Ketika Anda menerima uang itu, Anda tidak hanya menjual suara Anda. Anda menjual: Hak anak Anda untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, kesempatan keluarga Anda mendapatkan layanan kesehatan yang layak, dan kemungkinan desa Anda mendapatkan pembangunan infrastruktur yang baik,” katanya lagi.
Realitas Biaya Politik Uang
Bayangkan sebuah daerah dengan 141.000 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jika seorang kandidat memberi Rp 500.000 kepada 80.000 pemilih, mereka harus mengeluarkan Rp 40 miliar. Biaya ini belum termasuk operasional kampanye lainnya. Dengan pengeluaran sebesar itu, apakah masuk akal jika pemimpin tersebut berfokus pada rakyat ketika mereka menjabat?
“Realitanya, mereka akan sibuk mencari cara untuk mengembalikan modal melalui mark-up proyek. Menjual kebijakan kepada pengusaha besar, serta mengurangi anggaran publik untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Paradoks Memilih dengan Uang
Politik uang adalah paradoks paling kejam, uang yang Anda terima hari ini untuk memilih seorang pemimpin akan kembali menghantam Anda dalam bentuk ketidak adilan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Amplop yang Anda terima hari ini mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan Anda sesaat, tetapi biayanya adalah lima tahun penderitaan tanpa akhir. Mengapa Menolak Politik Uang adalah Revolusi
“Menegakkan Martabat Rakyat. Suara Anda adalah cerminan martabat Anda. Dengan menolak politik uang, Anda mengembalikan nilai demokrasi sebagai alat perubahan, bukan alat transaksi,” tegasnya.
Mencegah Korupsi yang Sistemik. Politik uang adalah akar dari korupsi. Dengan memutus mata rantainya, Anda membantu menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
“Memastikan Masa Depan yang Layak Dengan memilih pemimpin yang benar-benar kompeten, Anda memastikan pembangunan yang berkelanjutan untuk anak-anak Anda,” tambah Hendri.
Pernyataan Perlawanan
“Kami, rakyat Humbang Hasundutan, menolak dengan tegas segala bentuk politik uang. Kami MEMILIH pemimpin yang memiliki integritas, rekam jejak, dan visi nyata untuk kemajuan daerah. Kami BERKOMITMEN untuk melindungi masa depan kami dari kepentingan sesaat. Amplop putih mungkin menggoda, tetapi kehancuran yang dibawanya tidak sebanding dengan harganya,” tutupnya. (wol/ari/d1)
Discussion about this post