MEDAN, Waspada.co.id – Hingga saat ini, masyarakat masih beranggapan kalau senyawa kimia Bisphenol-A (BPA) yang digunakan pada kemasan galon air minum berbahan polikarbonat dapat larut ke dalam air jika terpapar matahari langsung.
Zat kimia ini dikaitkan dengan berbagai dampak gangguan kesehatan yang dialami jika dikonsumsi dari air galon kemasan yang terpapar matahari.
Baru-baru ini, Kelompok Studi Kimia Organik Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan penelitian independen untuk meneliti luruhan BPA pada empat merek air minum kemasan galon lokal maupun nasional terpopuler di Kota Medan, Sumatera Utara.
“Tim peneliti USU merilis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa BPA tidak terdeteksi pada semua sampel yang diuji, termasuk yang terpapar sinar matahari,” sebut Prof. Dr. Juliati Tarigan, M.Si, Guru Besar Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara (FMIPA USU) selaku Ketua Tim Peneliti.
Juliati menegaskan bahwa di dalam semua sampel air galon polikarbonat yang diteliti, baik yang terpapar ataupun tidak terpapar sinar matahari, tidak terdeteksi adanya luruhan atau migrasi BPA.
“Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir untuk mengonsumsi air minum kemasan galon, karena merek-merek terpopuler di Kota Medan terbukti aman untuk dikonsumsi,” katanya.
Ia juga menjelaskan, melalui temuan ini juga membantah anggapan bahwa migrasi BPA dari galon berbahan polikarbonat dapat terjadi jika kemasan terpapar sinar matahari.
“Meskipun galon didistribusikan pada siang hari, migrasi BPA ke dalam air minum tidak akan terjadi apabila suhu tidak mencapai 159 derajat Celcius. Sementara itu, suhu tertinggi yang tercatat di Indonesia hanya mencapai 38,5 derajat Celcius,” tambah Prof. Juliati.
Prof. Juliati menjelaskan bahwa secara sifat kimiawi, BPA memiliki titik leleh pada suhu 159 derajat Celcius. Hal ini menunjukkan bahwa BPA dalam kemasan polikarbonat hanya dapat luruh pada suhu yang sangat tinggi, hingga di atas suhu 159 derajat Celcius.
“Selain itu, BPA memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air, jadi kemungkinan larut dari kemasan galon polikarbonat ke dalam air minum yaitu sangat kecil,” ungkapnya.
Dalam penelitiannya, Juliati memaparkan bahwa sampel dikumpulkan dari empat merek air minum dalam kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) yang umum dan populer ditemukan di Medan.
“Keempat sampel tersebut terdiri dari dua merek produk AMDK nasional, serta dua (2) sampel merek lokal. Masing-masing merek diambil tiga sampel dari titik distribusi yang berbeda. Sampel diambil pada tiga kondisi penyimpanan, yaitu kondisi normal atau tidak terpapar matahari langsung, serta kondisi dengan paparan sinar matahari langsung selama 5 dan 10 hari,” jelasnya.
Lalu ia melakukan pengujian kami secara triplo atau dilakukan dengan menggunakan tiga sampel atau pengujian tiga kali. Sangat penting dilakukan pengujian secara triplo pada sampel pangan agar data pertama dapat dibandingkan dengan data kedua atau ketiga, sehingga hasil akhir yang diperoleh menjadi lebih akurat.
“Sampel diuji menggunakan alat ukur High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) yang merupakan instrumen yang sangat canggih untuk mendeteksi kandungan BPA dalam air hingga level mikrogram per liter (µg/L).
Dari hasil penelitian tersebut ia tidak menemukan adanya luruhan BPA pada air minum dalam kemasan yang terpapar sinar matahari.
“Tidak Ada Bukti Konklusif BPA menyebabkan gangguan Kesehatan BPA sendiri merupakan zat kimia yang digunakan secara luas dan sering kita temukan di berbagai produk sehari-hari, seperti bahan tambalan gigi, kemasan galon air minum, kertas thermal untuk struk belanja, hingga makanan dan minuman kemasan kaleng,” tegasnya.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Subspesialis Endokrinologi, Metabolisme, dan Diabetes Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara (USU), Dr. dr. Brama Ihsan Sazli, Sp.PD-KEMD, menjelaskan kalau sampai saat ini belum ada bukti kuat atau data ilmiah yang cukup untuk menyatakan bahwa BPA dapat menyebabkan masalah kesehatan, baik itu kanker, diabetes maupun obesitas.
“Pada air minum dengan kemasan galon berbahan polikarbonat, belum ada bukti penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa BPA menyebabkan masalah kesehatan. Terlebih, penelitian tentang potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkan BPA masih terbatas dan berbasis uji coba pada hewan. Untuk mencapai konsensus mengenai bahaya BPA, diperlukan pengujian yang menyeluruh, termasuk uji klinis pada manusia,” ungkapnya.
Dr. Brama menjelaskan bahwa tubuh manusia memiliki metabolisme untuk mengurai zat kimia dan bahan-bahan anorganik yang tanpa sengaja masuk dalam tubuh. BPA akan yang terserap dalam tubuh manusia akan didetoksifikasi oleh hati, untuk kemudian dikeluarkan oleh tubuh melalui urin dan feses.
“Tubuh kita mampu mengurai racun dan melakukan perbaikan. Maka, tidak benar untuk mengambil kesimpulan bahwa air minum dalam kemasan galon dapat memicu permasalahan kesehatan seperti permasalahan metabolik, kanker maupun diabetes seperti yang sering dibicarakan. Masalah kesehatan tersebut dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti gaya hidup, diet yang tidak seimbang, riwayat genetik keluarga, serta variabel lainnya,” jelas Dr. Brama lagi.
Sejalan dengan dr. Brama, Prof. Juliati menekankan pentingnya bagi masyarakat untuk mengedukasi diri dengan informasi akurat terkait isu-isu kesehatan.
“Penelitian ini merupakan bagian dari upaya untuk memberikan informasi yang akurat dan berbasis ilmiah, dan menjawab kekhawatiran masyarakat tentang misinformasi dampak BPA. Dengan informasi berbasis ilmiah dan edukasi yang tepat, masyarakat tidak perlu khawatir mengkonsumsi air kemasan galon,” tutup Prof. Juliati. (wol/ega/d2)
Discussion about this post