Waspada.co.id – Abu Nawas suatu hari mendapati Baginda Raja duduk santai di kursi singgasana istananya. Lalu datang seorang kepala desa menghadap beliau. Dia mengadukan permasalahan yang sedang menimpa di kampungnya.
“Ampun Baginda Raja yang mulia. Hamba mohon pertolongan Baginda,” ujar kepala desa itu seperti dikutip dari kanal YouTube Humor Sufi Official.
“Memangnya apa yang menimpa kampungmu?” tanya Baginda Raja.
“Begini Paduka yang mulia, akhir-akhir ini di kampung kami sering diganggu Jin yang jahat,” ujar sang kepala dusun.
“Kenapa bisa begitu? Apa yang membuat jin tersebut mengganggu kampungmu?” tanya lagi Baginda Raja penasaran.
“Paduka yang mulia, kampung kami mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Hampir setiap musim panen, kami selalu mendapat banyak keuntungan,” jawab kepala dusun.
Mendengar jawaban tersebut, Baginda Raja menjadi bingung. “Lalu apa hubungannya? Masak gara-gara kampungmu subur membuat jin tersebut mengganggu?” tanya Baginda Raja heran.
“Benar Paduka yang mulia, jin tersebut mengaku berkat jasa dialah kampung kami menjadi subur dan melimpah. Oleh karenanya setiap datang musim panen ia meminta tumbal seorang gadis. Bila permintaannya tidak kami penuhi, ia mengancam akan menghancurkan desa kami,” jelas kepala dusun.
“Oh jadi itu alasannya. Baiklah, sekarang kamu pulang saja, nanti saya akan mengutus seseorang untuk mengatasi masalah di kampungmu,” ucap Baginda Raja.
Selepas kepala dusun itu pamit pulang, Baginda Raja memanggil semua penasihat istana untuk mencari solusi atas permasalahan yang menimpa kampung tersebut.
“Paduka yang mulia, yang kita hadapi adalah makhluk halus, kita tidak mungkin melawannya dengan pasukan kerajaan. Yang ada nanti para prajurit malah kerasukan,” ujar salah satu penasihat istana.
Sedangkan para penasihat istana yang lain terlihat masih kebingungan mencari solusi yang tepat. Akhirnya terbesit di benak Baginda Raja sosok Abu Nawas. Saat itu juga ia memerintahkan prajurit istana menjemput Abu Nawas.
Singkat cerita, datanglah Abu Nawas ke istana dan menghadap Baginda Raja. “Ampun Paduka yang mulia, ada gerangan apa Paduka memanggil hamba?” tanyanya.
“Saya akan memberimu tugas penting. Abu Nawas, tugas ini harus kamu laksanakan. Kamu tidak boleh menolaknya,” balas Baginda Raja.
“Tentu saja saya siap, Paduka yang mulia. Kalau boleh tahu tugas apakah itu?” tanya lagi Abu Nawas.
“Suasana di kampung sebelah sedang tidak aman. Katanya ada jin yang suka mengganggu warga kampung tersebut, dan saya perintahkan kamu menyelesaikan masalah ini,” beber Baginda Raja.
Abu Nawas kaget mendengarnya. “Maksud Paduka, hamba disuruh menaklukkan jin jahat itu?” tanya dia memastikan.
“Benar sekali Abu Nawas. Aku tahu kamu pasti bisa mengalahkannya,” ujar Baginda Raja.
Raut muka ketakutan dan gemetaran mulai terlihat pada diri Abu Nawas. “Ampun Paduka yang mulia, apa Paduka tidak salah orang? Saya kira Paduka keliru kalau sampai menunjuk saya, sebab saya ini bukan orang sakti,” katanya.
“Wahai Abu Nawas, aku tahu kamu memang bukan orang hebat, bukan pula orang sakti, tapi dengan akal cerdikmu, aku yakin kamu bisa mengalahkan jin jahat itu,” ucap Baginda Raja.
Abu Nawas dengan terpaksa menerima tugas tersebut, karena jika menolaknya bisa dihukum berat oleh Baginda Raja.
Keesokan harinya berangkatlah Abu Nawas menuju kampung yang dimaksud. Setibanya di sana, ia langsung menemui kepala dusun.
“Apakah Anda utusan Baginda Raja?” tanya kepala dusun.
“Iya benar saya diutus Baginda Raja ke sini,” jawab Abu Nawas.
Kepala dusun itu lalu menceritakan semuanya tentang sosok jin yang sering mengganggu kampungnya, termasuk meminta tumbal seorang gadis saat musim panen tiba.
Setelah mendengar secara saksama, Abu Nawas lalu bertanya, “Apakah di antara warga ada yang pernah melihat wujud jin tersebut?”
Sang kepala dusun menjawab, “Saya kira hampir semua dari warga kami pernah melihatnya. Saya sendiri juga pernah melihatnya.”
Abu Nawas kemudian kembali bertanya, “Bagaimana wujudnya?”
Kepala dusun tersebut menjawab, “Tubuhnya tinggi dan rambutnya dikuncir di antara kepalanya yang botak.”
Seketika Abu Nawas langsung mengetahui kalau jin yang dimaksud adalah jin ifrit. “Sepertinya aku harus mencari cara supaya bisa mengalahkan jin ifrit,” pikir dia.
Setelah berpikir agak lama, muncullah ide cemerlang di otaknya. “Bagaimana tuan, apakah tuan sanggup menghadapinya?” tanya kepala dusun kepada Abu Nawas.
“Tenang saja, jin ifrit itu pasti akan bertekuk lutut di hadapanku. Sebenarnya dia hanya menggertak, pasti ada wanita yang sedang dia sukai.”
“Begini saja, aku akan menulis surat tantangan untuknya dan saya minta tolong supaya suratku ini diberikan kepada jin ifrit,” perintah Abu Nawas kepada kepala dusun.
Abu Nawas kemudian membuat surat tantangan dan memberikannya kepada kepala desa untuk disampaikan kepada jin ifrit. Setelah surat tantangan itu diberikan, Jin ifrit pun menjadi marah. Dia berjanji akan membunuh siapa saja yang berani menantangnya.
Sambil menunggu waktu pertandingan, Abu Nawas membuat sandal yang sangat besar tingginya saja sampai 40 meter. Ketika sandal tersebut selesai dibuat, ia meletakkannya di tengah lapangan yang nantinya menjadi tempat bertanding antara dirinya dan jin ifrit.
Setelah sebulan berlalu, tibalah saatnya waktu yang ditentukan. Jin ifrit yang sudah geram menahan emosi langsung menuju lapangan untuk menghancurkan orang yang menantangnya. Dia datang dengan suara yang menggelegar.
“Di mana laki-laki yang berani menantangku? Keluarlah! Aku akan hancurkan tubuhnya,” ucap jin ifrit sambil marah-marah.
Para warga yang tadinya berkumpul hendak menyaksikan pertandingan, spontan berlarian meninggalkan lapangan karena takut menjadi sasaran amukan jin ifrit.
Berapa lama muncullah Abu Nawas ke tengah lapangan untuk menghadapi jin yang jahat itu. “Oh jadi kamu yang bernama Abu Nawas, orang yang berani menantangku! Apa kamu sudah bosan hidup? Ayo sekarang kita bertarung,” tantang jin ifrit.
“Maaf, Anda salah orang. Saya ini muridnya Abu Nawas,” kata Abu Nawas berpura-pura.
“Lalu ngapain kamu datang kemari? Cepat panggil gurumu untuk bertarung denganku,” perintah jin ifrit.
“Jangan khawatir, guruku pasti datang kemari. Aku ke sini disuruh mengambil sandal guruku. Kemarin sehabis latihan, sandalnya Tertinggal,” balas Abu Nawas sambil menunjukkan sandal yang sangat besar yang tergeletak hampir menutupi separuh lapangan.
“Itu sandalnya Abu Nawas?” tanya jin ifrit.
“Iya benar. Memangnya kenapa? Tapi saya tidak kuat mengangkatnya sendirian. Maukah kau membantuku membawakan sandal ini?” pinta Abu Nawas melihat sandal yang berukuran sangat besar tersebut.
Sejenak jin ifrit itu terdiam. Dia berpikir, sandalnya saja sebesar lapangan, bagaimana orangnya? Jin ifrit pun mulai ketakutan.
“Atau, begini saja, saya akan panggil guru saya untuk datang ke sini langsung. Kalau saya ditanya mana sandalnya, saya akan beralasan kalau kamu menghalang-halangi saya untuk mengambil sandalnya,” ujar Abu Nawas.
“Jangan, jangan lakukan itu. Lebih baik aku pergi saja sekarang dan aku berjanji tidak akan pernah mengganggu desa ini lagi,” balas jin ifrit yang jahat ini berteriak dan segera menghilang karena ketakutan.
Sejak saat itu kampung tersebut kembali aman dari gangguan jin ifrit. Allahu a’lam bissawab. (wol/ryp/okezone/d2)
Discussion about this post