JAKARTA, Waspada.co.id – Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) memberikan komentar soal pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan pengoplosan atau blending bahan bakar minyak (BBM) bukan merupakan kebijakan Pertamina.
“Berdasarkan data dari salinan dokumen yang kami duga merupakan dokumen kontrak yang sudah diamandemen sejak 22 Agustus 2014 hingga November 2017 antara PT OTM dengan Direktorat Pertamina Pemasaran dan Niaga (Persero) (PPN), kami menduga bahwa proses pengoplosan atau blending BBM masih dilakukan di Terminal BBM PT OTM hingga saat ini, jika oplos dilarang dipastikan BBM Pertalite & Biosolar dan lainnya akan mengalami kelangkaan di SPBU,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, dalam rilis yang diterima Minggu (9/3).
Yusri membeberkan, penandatanganan perjanjian itu tak lama setelah Riza Chalid mengambil alih seluruh kepemilikan terminal BBM dari Oil Tanking Deuthschland dan kemudian merubahnya menjadi PT Orbit Terminal Merak. Aksi korporasi Riza ini, rupanya setelah Riza dapat kepastian Pertamina sepakat menggunakan semua fasilitas Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) di Merak.
“Kemudian, di dalam draf yang diduga merupakan draf amandemen perjanjian itu disebutkan berdasarkan notulen rapat negosiasi antara PPN dengan OTM pada 1 Juli 2015, dinyatakan bahwa Para Pihak sepakat melakukan perubahan atas beberapa ketentuan dalam perjanjian, antara lain mengenai Minimum Thruput, Jenis Produk Yang Disimpan, Tarif Thruput Fee, Losses dan mata uang pembayaran,” lanjut Yusri.
Diungkapkan Yusri, Amandemen tahun 2017 tersebut menambah ketentuan Pasal 13 menjadi berbunyi, “Pembayaran Thruput fee sebagaimana diatur pada ayat (2) Pasal ini belum termasuk jasa kegiatan, termasuk tetapi tidak terbatas pada in-tank blending, injection additive/dyes dan analisa sampling (secara Bersama-sama selanjutnya disebut sebagai Pekerjaan Tambahan); dan Para Pihak sepakat dengan ketentuan pembayaran atas Pekerjaan Tambahan tersebut sebagaimana diuraikan pada tabel berikut:
A. Pekerjaan Tambahan per Bulan Yang Tidak dikenakan Biaya:
Pekerjaan Tambahan Tarif
in- tank blending 2500 KL per bulan
injection additive/dyes 2000 Liter perbulan
Analisa Sampling 15 Sample per Bulan
B. Pekerjaan Tambahan per Bulan yang Dikenakan Biaya Apabilan Melebihi Ketentuan Butir a di atas:
Pekerjaan Tambahan Tarif
in- tank blending $1.5 / KL
injection additive/dyes $0.5 / L
Analisa Sampling $600 / sampel
Sampai dengan 60 sample/bulan. Namun demikian, kebutuhan Analisa sample jika melebihi 60 sampel / bulan akan dikenakan biaya sebesar Rp 3.500.000 per sampel.”
“Selain hal di atas, kami menjadi sangat heran setelah menelisik Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2018 sampai dengan Semester 1 Tahun 2021 pada PT Pertamina (Persero), Subholding dan Instansi terkait lainnya oleh BPK RI sebanyak 184 halaman beserta lampirannya,” ungkap Yusri.
Dikatakan, keheranan itu karena di sana CERI tidak menemukan sedikit pun disinggung adanya temuan dalam pelaksanaan kontrak penggunaan TBBM PT OTM dengan Subholding Pertamina Patra Niaga.
“Padahal seingat kami, mantan Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam testimoninya telah mensinyalir adanya oknum di BPK yang diduga terlibat dalam penyimpangan dalam pengadaan minyak mentah dan produk kilang serta LPG setidaknya untuk periode 2018-2023,” beber Yusri.
Sangat tak masuk akal, kata Yusri, sebab hingga hari ini diduga proses pengoplosan atau blending tetap berlangsung baik terhadap minyak mentah sebelum diolah masuk ke kilang, maupun terhadap produk kilang berupa BBM.
“Jadi jika ada narasi sekarang tidak ada blending atau pengoplosan menurut hemat kami itu adalah pernyataan yang salah,” ungkap Yusri.
ini.
Padahal, kata Yusri, pengoplosan atau blending BBM dan minyak mentah tidak melanggar peraturan apapun termasuk Tata Kerja Operasi (TKO) Pertamina sepanjang proses pengoplosannya dilakukan di kilang atau di fasilitas TBBM yang memiliki izin pengolahan dan hasil produksi BBM nya harus sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM.
“Adapun kerugian Negara sejumlah hampir Rp 1 kuadriliun, juga tidak masuk akal karena setara sekitar 80% dari penerimaan Pertamina Holding sepanjang tahun 2024 sebesar USD 75 Miliar atau setara Rp 1.237,5 Triliun (kurs Rp 16.500),” beber Yusri.
Menurut hukum kita pun, jelas Yusri, hanya BPK dan BPKP yang boleh menghitung kerugian negara termasuk akibat tindak pidana korupsi. “Apakah angka kerugian yang hampir Rp 1 kuadriliun yang disebut Kejagung itu merupakan hasil audit BPK atau BPKP?,” tanya Yusri.
Selain itu, pada Sabtu (8/3) pagi, CERI juga mendapat informasi yang menggembirakan dari Rekan Wartawan Senior, bahwa Presiden Prabowo Subianto telah berpesan kepada Dirut Pertamina bahwa dengan adanya temuan korupsi pengadaan minyak di Pertamina oleh Kejagung, Pertamina harus segera berbenah diri dan membuat serta menjalankan proses bisnisnya secara transparan sesuai prinsip good corporate governance (GCG).
“Sudah pasti keinginan Presiden tujuan akhirnya bisa membuat produk BBM Pertamina semakin berkualitas, efisien, dan tersedia di seluruh pelosok serta rakyat bisa menikmati BBM dengan harga lebih murah. Jika tidak, percumaaaa saja penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejagung,” pungkas Yusri. (wol/rls/asred/d2)
Discussion about this post