Oleh: Ustaz Dr Amir Faishol Fath*)
Waspada.co.id – Perjalanan dakwah Nabi Luth penuh dengan tantangan. Tidak saja karena kaumnya mengingkari risalah yang dibawanya, tetapi lebih dari itu. Mereka mengidap penyakit yang kini dikenal dengan istilah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Boleh jadi sebagian orang tidak mengakui bahwa ini penyakit, tetapi secara fitrah manusia, tidak bisa dipungkiri bahwa LGBT telah menjadi fenomena yang sering diperdebatkan. Bahwa di sana-sini kita mendengar pembelaan terhadap mereka untuk diakui eksistentesinya, tetapi munculnya kekhawatiran atas merajalelanya perilaku tersebut di tengah masyarakat pun juga tak terhindarkan.
Sebab, bagaimanapun sunnatullah yang Allah tetapkan di alam ini mengharuskan manusia menikah dengan lawan jenis agar terjadi keberlanjutan hidup (istimrariyatul hayaati). Tetapi dengan munculnya fenomena LGBT bisa dipastikan tujuan mulia tersebut akan tersendat.
Bukankah di antara tujuan syariah (min maqqashidisy syariah) adalah menjaga jiwa (hifzhun nafs) dan menjaga harga diri (hifzhul’irdh)?
Fenomena perilaku LGBT tentu tidak sejalan dengan kedua tujuan tersebut. Karena itu di dalam Alquran, Allah SWT menyebarkan kisah perjuangan dakwah Nabi Luth dalam banyak surah: al-Ana’am, al-A’raf, Hud, al Hijr, al-Anbiya, al-Hajj, asy-Syuara, an-Naml, al-Ankabut, as-Shafat, Shad, Qaf, al-Qamar, at-Tahrim, dan sebagainya.
Ini tidak lain untuk memberikan aba-aba bahwa bagi Allah itu sangat bertentangan dengan tujuan utama diciptakannya manusia. Silakan seseorang membela LGBT atas nama hak asasi manusia atau dengan cara mengampanyekannya dalam berbagai penampilan yang menggoda dan menggiurkan, tetapi hal itu tidak bisa didukung jika mengarah kepada penghancuran manusia.
Sebab, siapapun yang mempunyai akal sehat tidak akan pernah bisa menerimanya.
Allah menyebutkan beberapa istilah negatif yang dinisbahkan kepada kaum Nabi Luth yang tentu ini juga berlaku bagi kaum LGBT.
Di antaranya sebagai perbuatan keji yang belum pernah dilakukan umat manusia sebelumnya (ata’tuunal faahisyata maa sabaqakum bihaa min ahadin minal ‘aalamiin) (QS al-A’raf [7]: 80).
Ayat ini menggambarkan bahwa Nabi Luth menggunakan redaksi istifham inkarii (pertanyaan yang bermakna pengingkaran). Bahwa perbuatan tersebut tidak saja menyimpang dari syariat yang Allah turunkan, tetapi juga sangat tidak disukai oleh Allah SWT.
Sampai-sampai dikatakan bahwa itu bukan hanya keji dan menjijikkan (fahisyah), tetapi juga belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.
Pernyataan ini ditegaskan dalam surah al-A’raf yang tema pokoknya mengajak kepada kejelasan sikap antara taat dan maksiat. Di sini seakan dikatakan bahwa pribadi yang baik adalah yang berperilaku jelas antara sebagai laki-laki atau perempuan.
Sungguh suatu penyimpangan jika ada laki-laki berperilaku seperti perempuan atau sebaliknya.
Penegasan di atas diulang lagi dengan redaksi yang mirip dalam surah al-Ankabut [29]: 28, yang fokus pembahasannya tentang fitnah. Suatu isyarat yang sangat jelas bahwa perbuatan kaum Nabi Luth atau LGBT adalah fitnah yang merusak manusia dan kemanusiaan.
Karena itu, dalam ayat lain mereka disebut sebagai kaum yang berlebihan dalam melakukan keburukan (musrifuun) (QS al-Araf [7]: 81), juga disebut sebagai kaum pendurhaka (mujrimuun) (QS al-Araf [7]: 84).
Bahkan, Nabi Luth mengatakan kepada mereka, “Kalian adalah kaum yang aneh tidak seperti manusia pada umumnya (innakum qaumum mungkaruun)” (QS al-Hijr [15]: 62).
Mereka tidak merasa bersalah sekalipun Nabi Luth menegurnya dengan keras bahwa mereka telah melakukan hubungan sesama jenis (innakum lata’ttunarrijaala syahwatan min duunin nisaai) (QS al-Araf [7]: 81).
Mereka justru mengancam agar Nabi Luth dan pengikutnya dikeluarkan dari kampung Sodom (akhrijuuhum min qaryatikum). Secara fitrah sebenarnya mereka mengakui bahwa Nabi Luth dan pengikutnya adalah orang-orang yang bersih dan suci (innahum unaasuy yatathahharuun) (QS al-Araf [7]: 82).
(wol/republika/mrz/d2)
Discussion about this post