Oleh: Imta Wahyuni (NIM 227005183)
Waspada.co.id – Pencucian Uang adalah praktik illegal di mana uang yang diperoleh dari kegiatan kriminal dicuci atau disembunyikan untuk membuatnya tampak seperti uang yang diperoleh secara sah. Teknologi informasi dapat memainkan peran yang penting dalam aktivitas pencucian uang.
Teknologi informasi dapat digunakan dalam pencucian uang di antaranya, Crypto currency seperti Bitcoin dan Ethereum, dapat digunakan dalam pencuci uang untuk menyembunyikan transaksi mereka karena mata uang virtual ini bersifat anonym. Pengguna transaksi elektronik seperti transfer dana atau pembayaran online dapat membantu pencuci uang menyembunyikan uang yang dicuci dibalik transaksi palsu yang tampak sah.
Di Indonesia, money laundering ini disebut sebagai pencucian uang, dan diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut Bimsar Nasution, pencucian uang berpotensi menggangu perekonomian nasional dan internasional karena membahayakan fungsi ekonomi yang efisien dan menghasilkan kebijakan ekonomi yang buruk. Artinya, money laundering akan menyebabkan fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga sehingga secara perlahan-lahan dapat menghancurkan pasar finasial dan mengurangi kepercayaan public kepada sistem finasial yang dapat mendorong kenaikan risiko dan kestabilan dari sistem tersebut dan berakibat pula pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.
Membiarkan masyarakat menikmati uang haram, berarti mengizinkan organized crime membangun fondasi usaha yang illegal dan membiarkan mereka menikmati hasil dari aktivitasnya. Praktek ini menciptakan kondisi persaingan yang tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap pencucian uang, bukankah berarti turut membangun etos persaingan tidak jujur? Moral bisnis menurun, wibawa hukum merosot drastis, orientasi materialistik menguat dan lain sebagainya.
Perkembangan praktek ini akan melemahkan kekuatan keuangan Masyarakat secara keseluruhan. Semakin pada umumnya, sehingga angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro masyarakat menjadi kurang dapat diandalkan.
Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap perkembangan sektor jasa keuangan dan non jasa keuangan. Akibatnya pemanfaatan layanan keuangan digital yang berbasis teknologi berpotensi digunakan sebagai sarana bagi pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Telah banyak pelaku TPPU menggunakan cara-cara yang semakin canggih, sangat kompleks dan berskala internasional dalam tindak pidana pencucian uang. Kondisi ini berpengaruh terhadap pengaturan dan pengawasan seluruh industri jasa keuangan baik perbankan dan non bank.
Tugas untuk melakukan pengaturan dan pengawasan ini dilakukan oleh lembaga pengatur dan pengawas. Berdasarkan Pasal 1 angka (3) PP Nomor 43 tahun 2015 tentang Pihak Pelapor PPTPPU, yang dimaksud dengan pihak pelapor adalah setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang wajib menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
OJK memiliki otoritas regulator dan pengawas sektor keuangan yang dapat diselidiki dari empat indikator yang saling terkait satu sama lain yaitu, regulasi (regulatory), pengawas (supervisopry), kelembagaan (institusional), dan anggaran (budgetary).
Tindak Pidana Pencucian Uang saat ini tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan. Sehingga pemerintah melalui serangkaian UU TPPU seperti Undang Undang Nomor 15 tahun 2002, dengan perubahannya dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2003 dan perubahannya lagi dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 2010 mengatur tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tujuan melakukan upaya untuk menanggulangi TPPU.
Pengenaan sanksi administrative yang dikenakan terhadap penyedia jasa keuangan dimulai dari jenis yang paling ringan sampai dengan yang terberat. Sanksi yang ringan atas tidak dilakukannya kewajiban kepatuhan dan kewajiban pelaporan dimulai dengan peringatan, dilanjutkan dengan tegur tertulis, pengumuman public tentang tindakan atau sanksi, dan yang paling akhir denda administrative yang terberat kemungkinan akan lebih efektif apabila dibandingkan dengan penjatuhan sanksi pidana.
Ketua Dewan Audit Otoritas Jasa keuangan (OJK), Sophia wattimena, mengungkapkan masyarakat dapat berperan dalam mencegah pencucian uang. Setidaknya terdapat lima cara. Pertama, masyarakat harus memberikan identitas dan informasi yang benar ke lembaga jasa keuangan. Kedua, masyarakat tidak menerima dan yang tidak diketahui asal-usulnya. Ketiga, masyarakat tidak menyimpan dana orang lain pada rekening yang dimiliki. Keempat, masyarakat tidak membeli harta yang tidak jelas asal-usulnya. Dan kelima, tidak terlibat dalam pendanaan terkait kejahatan atau terorisme.
Tentu saja yang jadi prioritas seharusnya adalah upaya bersama agar Indonesia sebagai salah satu negara besar anggota G20 segera dapat menjadi anggota FATF. Rencana aksi menuju keanggotaan penuh FATF perlu dipercepat pelaksanaannya termasuk oleh Satgas TPPU. Untuk itu, hentikan siding pendapat yang tidak perlu dan segeralah bekerja.
Daftar Bacaan:
- Sunarmi (2023). “Prinsip Customer Deu Diligenge Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”. Merdeka Kreasi.
- Sudibyo A (2016). “Kejahatan Keuangan dan Pencucian Uang di Indonesia: Perspektif Ekonomi dan Hukum”. Pustaka Sinar Harapan.
- Ahmad Zuhudy Bahtiar (2023). “Pencucian Uang Secara Masif dan Terorganisir Berbantuan Teknologi Informasi di era 4.0”. IAIN Pare-Pare. https://www.iainpare.ac.id.
- Arief Wibisomo (2023). “Meluruskan Kembali Resim Anti Pencucian Uang”. Pemerhati Perbankan. https://www.kompas.id.
Discussion about this post