JAKARTA, Waspada.co.id – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyatakan pihaknya telah memutuskan untuk menunda pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Keputusan ini diambil lantaran DPR tak ingin ada pembatasan terhadap kegiatan pers.
“Kita tidak mau kemerdekaan pers itu terganggu, ya kan. Pers sebagai lokomotif dan salah satu pilar demokrasi itu harus dipertahankan karena itu buat demokrasi,” kata Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (28/5).
Supratman menjelaskan, Baleg DPR RI telah mendengarkan usulan terkait dengan RUU Penyiaran ini oleh Komisi I DPR RI. Ia menyebut hal ini juga sudah disampaikan oleh ke seluruh media beberapa waktu lalu.
“Kemudian yang kedua, saya sampaikan ke teman-teman semua bahwa dari fraksi kami sudah memerintahkan kepada saya untuk sementara tidak membahas RUU penyiaran,” ujarnya.
Penundaan pembahasan tersebut, ungkap Supratman, ditujukan kepada dua poin yang menjadi polemik, yaitu mengenai posisi dewan pers dan yang kedua menyangkut jurnalistik investigasi.
“Ya artinya begitu (ditunda pembahasan RUU Penyiaran) perintahnya,” ucapnya.
Sebelumnya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengungkapkan keprihatinannya terhadap draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi DPR.
IJTI menilai, beberapa pasal dalam draf tersebut berpotensi mengancam kemerdekaan pers, terutama terkait dengan penayangan karya jurnalistik investigasi dan penyelesaian sengketa jurnalistik.
Dalam sebuah siaran pers yang dirilis hari ini (11/5), IJTI menyoroti proses penyusunan draf yang disebut “tidak cermat” dan keberatan atas pasal yang mengatur tentang larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi di televisi.
Pasal 50B ayat 2 huruf c dinilai dapat membatasi kebebasan jurnalis dalam menyajikan investigasi yang mendalam kepada publik.
“Saat ini, karya jurnalistik yang dihasilkan dengan memegang teguh kode etik, berdasarkan fakta dan data yang benar serta dibuat secara profesional tidak seharusnya dibatasi penayangannya. Pasal ini justru bisa diartikan sebagai bentuk intervensi dan upaya pembungkaman terhadap pers,” kata Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan. (wol/man/d2)
Discussion about this post