JAKARTA, Waspada.co.id – Tingkat kebutuhan hidup yang terus meningkat sementara pertumbuhan upah sulit mengimbangi kecepatannya, mendorong banyak orang mengambil pekerjaan lebih dari satu agar bisa mengerek pendapatan.
Fenomena side hustle, bekerja sampingan dengan menjadi freelancer atau nyemplung di arena gig economy, menjadi tren yang terus meningkat di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Proporsi pekerja yang memiliki pekerjaan sampingan pada 2023 melampaui 2019 sebelum pandemi Covid-19 menerjang. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), mencatat, 15,45% pekerja di Indonesia pada 2023 memiliki pekerjaan sampingan, naik dibanding 2022 yang sebesar 14,4% dan sedikit melampaui proporsi 2019 di angka 15,17%.
Sektor pertanian menjadi lapangan usaha di mana paling banyak pekerjanya yang memiliki pekerjaan lebih dari satu dengan proporsi mencapai 24,1%. Sementara di sektor jasa, ada 12,1% pekerja dengan side hustle dan 11% di sektor manufaktur yang memiliki pekerjaan lebih dari satu.
Kalangan yang memiliki pekerjaan sampingan kebanyakan memiliki pekerjaan utama di sektor informal dengan proporsi mencapai 18,1%. Sedangkan pekerja di sektor formal yang memiliki side hustle mencapai 11,5%.
Hal itu semakin menebalkan dugaan bahwa motif utama seseorang memiliki pekerjaan lebih dari satu adalah karena pendapatan yang belum memadai dari pekerjaan yang ada saat ini. Mencari pendapatan tambahan melalui pekerjaan sampingan menjadi jalan keluar yang logis agar tuntutan kebutuhan hidup tetap bisa terpenuhi.
“Motif ekonomi masih menjadi determinan dalam kepemilikan side hustle pekerja. Permasalahan pendapatan perlu menjadi perhatian pemerintah. Terlebih lagi, pendapatan yang layak merupakan salah satu indikator dari pekerjaan layak (decent work),” kata dua peneliti Badan Pusat Statistik (BPS) Dewi L. Amaliah dan Ana L. Fitriyani dalam publikasi yang dirilis, Rabu (28/2).
Pekerja di kawasan perdesaan lebih banyak yang memiliki side hustle dengan persentase 21,6%. Sementara pekerja di perkotaan hanya 10,2% yang memiliki pekerjaan sampingan.
Sementara bila melihat status pernikahan, pekerja yang sudah menikah lebih mungkin memiliki pekerjaan sampingan dengan persentase mencapai 17,6%. Sedang yang belum menikah, proporsinya hanya 7,8% yang memiliki side hustle dan mereka yang sudah bercerai memiliki pekerjaan lebih dari satu proporsinya 14,4%.
“Pekerja yang sudah menikah memiliki probabilitas lebih besar untuk punya side hustle karena semakin besar dorongan mendapatkan penghasilan lebih baik,” jelas peneliti BPS.
Selain itu, bila dalam rumah tangga jumlah orang yang bekerja sedikit, ada kecenderungan pekerja di rumah tersebut memiliki pekerjaan lebih dari satu terutama yang berstatus sebagai kepala keluarga.
“Pekerja lelaki yang punya side hustle mencapai 18,1%, lebih tinggi ketimbang perempuan sebesar 11,14%. Sementara menurut usia, pekerja dengan pekerjaan yang banyak median umur ada di 44 tahun, dibanding mereka yang tidak punya side hustle di 39 tahun,” kata kajian yang sama.
Sementara kalangan pekerja dengan pendidikan terakhir tertinggi cenderung memiliki pekerjaan sampingan. Persentase pekerja berpendidikan tinggi yaitu sarjana, magister dan doktor, memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 28,7%, lebih besar dibandingkan pekerja dengan pendidikan akhir menengah atau dasar masing-masing 11,7% dan 17,8%.
Mengambil pekerjaan lebih dari satu juga membuat seorang pekerja mencatat jam kerja lebih panjang ketimbang rata-rata. Kajian y ang sama mencatat, mayoritas pekerja dengan side hustle bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu.
Tuntutan ekonomi
Kajian tersebut juga mengukur kaitan antara tingkat pendapatan dan jumlah jam kerja pada pekerjaan utama. “Tingkat pendapatan dan jumlah jam kerja pada pekerjaan utama berbanding terbalik dengan peluang memiliki pekerjaan tambahan, hal ini mengindikasikan ada tuntutan ekonomi di balik fenomena side hustle,” terang peneliti.
Masih ada gap atau kesenjangan yang cukup besar antara biaya hidup dengan pendapatan seseorang. Sekalipun dengan asumsi bahwa ada dua anggota rumah tangga yang bekerja pada pekerjaan formal, jumlah pendapatan mereka masih belum memadai menutup kebutuhan.
Perbandingan dengan biaya hidup memperlihatkan fenomena hal ini. Kajian terhadap 10 kota dengan biaya hdup termahal dan termurah berdasarkan Survei Biaya Hidup 2022, memperlihatkan, pendapatan pekerja di sana tidak mampu melampaui biaya hidup yang dibutuhkan.
Contoh mudah adalah DKI Jakarta. Ibukota Indonesia ini mencatat median pendapatan untuk pekerjaan di sektor formal sebesar Rp4,4 juta. Sementara rata-rata biaya hidup per rumah tangga di DKI Jakarta adalah Rp14,88 juta pada 2022. “Dengan asumsi terdapat dua orang pekerja formal dalam satu rumah tangga, masih terdapat kekurangan [untuk menutup biaya hidup] sebesar Rp6,08 juta,” demikian dijelaskan oleh peneliti BPS.
Hal yang sama juga terjadi di Cilacap, sebagai representasi daerah dengan biaya hidup termurah. Di Cilacap, median pendapatan pekerja formal adalah Rp1,8 juta. Sementara rata-rata biaya hidup mencapai Rp5,38 juta per rumah tangga. Alhasil, sekalipun ada dua orang yang bekerja dalam satu rumah tangga, masih terdapat defisit untuk menutup biaya hidup sebesar Rp1,78 juta.
Kajian ini menegaskan lagi tentang permasalahan pendapatan di kalangan pekerja yang masih gagal mengimbangi kenaikan biaya hidup. Selain itu, kebutuhan seseorang menambah pekerjaan lebih dari satu demi menutup biaya hidup juga mencerminkan pekerjaan layak masih menjadi hal yang langka. Pekerjaan layak berarti pekerjaan yang memberikan upah layak.
Di Indonesia saat ini, pekerjaan yang layak memang masih sulit didapatkan. Hal itu juga terlihat dari proporsi sektor informal yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2018 silam, proporsi pekerja di sektor informal mencapai 56,84%. Angkanya melonjak ketika pandemi Covid-19 menerjang di kala gelombang PHK datang. Namun, setelah pandemi berlalu dan perekonomian berbenah, proporsi sektor informal semakin melejit mencapai 59,11%, sementara sektor formal kian kecil hanya 40,89%
Menjamurnya pekerja sektor informal di Indonesia sejurus dengan bermunculan model-model pekerjaan berkonsep kemitraan ala ojek online, ditambah dengan jumlah sektor usaha mikro yang semakin besar di perekonomian, memberi gambaran kegagalan penciptaan lapangan kerja layak di Indonesia.
Banyak orang akhirnya memiliki sambilan membuka usaha mikro ataupun terjun ke gig economy dengan konsep kemitraan seperti ojek online, kurir online, dan lain sebagainya. Pelaku usaha mikro di Indonesia pada 2021 telah mencapai 64,2 juta unit, setara dengan 99,6% dari total jumlah usaha di negeri ini, menurut data yang dilansir oleh Kementerian Koperasi dan UMKM.
Sementara di sektor gig economy di mana para pekerja dibayar tidak berdasarkan waktu kerja melainkan berdasar jumlah barang atau layanan yang dikerjakan, seperti ojek online, kurir, dan lain-lain, juga semakin membludak diperkirakan mencapai 4 juta orang.
“Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat selfemployment yang lebih rendah, karena lebih banyak pekerja yang dapat bekerja sebagai pegawai di lapangan usaha formal,” tulis kajian SMERU Research Institute pada Juni 2023.
Dengan kata lain, banyaknya jumlah UMKM, terutama yang mikro dan ultra mikro di sebuah negara, ditambah makin menjamurnya pekerjaan gig economy, bisa dibaca sebagai salah satu pertanda bahwa kondisi lapangan kerja di negara tersebut kurang berkualitas dan tidak memadai menyerap kebutuhan masyarakat atas pekerjaan yang lebih layak. (wol/bloomberg/pel/d2)
Discussion about this post