MEDAN, Waspada.co.id – Pengajuan penukaran uang melalui sistem yang dilakukan Bank Indonesia, namun sulit diakses masyarakat itu bisa saja dipicu oleh banyak masalah teknis.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, menuturkan salah satunya bisa saja dikarenakan oleh karena akses yang begitu banyak dari masyarakat, sehingga sistem tidak mampu mengakomodir semua permintaan untuk mengakses layanan itu sendiri.
“Dan sistem layanan penukaran uang yang dibangun oleh BI ini banyak mubazirnya. Hanya memanjakan masyarakat yang berniat menukar uangnya. Dikarenakan layanan penukaran uang ke masyarakat tersebut efektif dilakukan satu tahun sekali. Setelah perayaan HBKN (idul fitri) usai, maka sistem layanan online tersebut menjadi kurang bermanfaat bagi masyarakat,” tuturnya, Jumat (21/3).
Sebaiknya budaya menukar uang menjelang idul fitri ini diminimalisir atau dikurangi. Masyarakat harus dibiasakan membagikan uang saat perayaan hari besar tertentu dengan uang digital.
Mengingat penggunaan smartphone di kalangan masyarakat sudah meluas. Dan kebiasaan menukar uang baru saat perayaan hari besar tertentu juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Selain biaya pencetakan uang, penukaran uang memicu sejumlah biaya diantaranya BI harus menyediakan sumber daya manusia, operasional dan maintenance sistem, kendaraan penukaran uang keliling. Ditambah biaya yang harus dikeluarkan masyarakat saat mengambil uangnya, kemungkinan biaya transfer, pulsa (paket data), biaya transport termasuk BBM, akomodasi lainnya hingga tenaga,” katanya.
Ada terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan saat penukaran uang berlangsung. Sementara uang baru yang dibagikan ini bersifat seremonial semata. Tidak memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi jika menggunakan uang lama.
“Dan nilainya juga tidak berbeda antara uang baru dan uang lama. Jadi tidak ada alasan BI harus mempertahankan budaya yang melekat seperti ini,” jelasnya.
Perlahan sebaiknya kebiasaan atau budaya ini harus dikurangi dan digantikan dengan uang digital. Dimulai dengan membagikan secara merata uang baru ke semua masyarakat yang mengajukan permohonan tukar uang.
“Sistem harus bisa mengeluarkan output dengan algoritma penukaran uang baru dibagi semua jumlah pemohon. Sehingga masyarakat hanya mendapatkan penjatahan sedikit yang bisa membuat minat mereka menukar uang perlahan memudar,” kata Gunawan.
Dari sekian banyak sosialisasi yang saya dapatkan, BI dalam beberapa tahun terakhir sudah mendorong penggunaan uang digital (non tunai) di masyarakat saat hari raya seperti menggunakan QRIS. Tetapi budaya menukar uang baru ini sudah sangat melekat.
“Pola pikir masyarakat perlu dirubah baik dengan edukasi, sosilasi maupun pendekatan kebijakan yang mempersempit keinginan menukar uang,” tandasnya. (wol/eko/d1)
Editor: Ari Tanjung
Discussion about this post