SAMOSIR, Waspada.co.id – Sore yang basah dan mendung, Butet Sitorus duduk memeluk buku Iqra’ yang mulai usang. Ia memandang kosong ke arah bangunan madrasah yang kini terkunci rantai besi, plang merek Madrasah Ibtidaiyah juga ditumbangkan.
Di pelupuknya, genangan air mata tak bisa lagi ditahan. Butet tidak sendiri, ada rekan-rekannya sesama murid madrasah. Anak-anak kecil yang baru belajar mengenal Tuhan lewat lantunan ayat suci Alquran turut menangis dalam diam di depan sekolahnya, Jalan Tanah Lapang Pangururan, Samosir.
Tangan-tangan mungil yang biasa terangkat untuk berdoa kini hanya menggenggam hampa. Di pipi-pipi lugu mereka, air mata berderai. Bukan karena luka fisik, tapi karena harapan mereka untuk belajar mengaji telah direnggut secara perlahan dan menyakitkan.
Kejadian pilu itu pada hari, Kamis (10/4) lalu, sebelum kejadian siswa terpaksa dipindah belajar di Kantor KUA Pangururan sejak awal Ramadhan sampai tanggal 10 April 2025, dengan jumlah siswa Raudhatul Athfal 26 siswa, Madrasah Ibtidaiyah 55 Siswa dan jumlah guru Raudhatul Athfal 3 orang dan guru Madrasah Ibtidaiyah 12 orang.
Madrasah Ibnu Sina Samosir, Kabupaten Samosir, tempat mereka belajar mengenal huruf hijaiyah dan akhlak mulia, nyaris telah kehilangan tempat. Sejak pertengahan Januari 2025, anak pemilik rumah sewa secara sepihak menyampaikan niat memutus kontrak. Padahal dalam perjanjian resmi, hak sewa masih berlaku hingga Februari 2026.
Ketika pihak yayasan menolak keputusan sepihak tersebut, perlakuan semena-mena pun menghampiri. Ancaman, tekanan, hingga ketidakadilan menjadi makanan sehari-hari mereka yang hanya ingin menyediakan tempat belajar untuk anak-anak muslim yang minoritas di Pulau Samosir itu.
Langkah membangun gedung madrasah sendiri pun bukan tanpa upaya. Sejak 5 Oktober 2021, Yayasan Ibnu Sina Samosir telah mengajukan permohonan penerbitan IMB kepada Bupati Samosir, dan juga mengurus surat keterangan domisili dari Kepala Desa Sait Nihuta.
Namun pada 13 Oktober 2021, surat itu justru ditolak. Bagaikan dinding yang terlalu tinggi untuk dipanjat, birokrasi menutup jalan mereka yang hanya ingin mendirikan tempat suci bagi pendidikan anak bangsa.
Pemerintah Daerah Samosir kemudian menggelar rapat, melibatkan Kementerian Agama, tokoh masyarakat, hingga perangkat desa. Keputusan diserahkan kepada adat dan kearifan lokal.
Namun syaratnya mengiris hati, pihak yayasan diminta menjumpai satu per satu perwakilan masyarakat dan kepala desa ke rumah masing-masing. Langkah ini telah ditempuh, namun yang didapat hanyalah lempar tanggung jawab dan sikap saling menghindar.
Kini, puluhan anak harus menerima kenyataan pahit, mereka nyaris tak lagi punya tempat belajar. Mereka tak paham soal IMB, surat domisili, atau aturan adat. Yang mereka tahu, mereka ingin mengaji. Mereka ingin mendengar lantunan ayat suci, ingin bisa membaca Alquran untuk masa depan mereka.
Tapi suara bocah-bocah mungil itu seakan hilang di antara ributnya kepentingan dan kebisuan oknum pejabat di Samosir dengan sebutan kepingan surga di tepian Danau Toba itu.
Pihak yayasan hanya bisa menggenggam harapan yang makin tipis. Dengan segala kerendahan hati, mereka memohon pendampingan dari para pemangku kepentingan, agar madrasah ini tak sekadar menjadi cerita sedih yang berlalu begitu saja.
“Kami tak ingin menyerah. Kami hanya ingin mendirikan rumah ilmu bagi anak-anak kami. Apakah itu terlalu sulit di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan dan keadilan,”ujar Pembina Yayasan Ibnu Sina Samosir, Yunaedy Sitorus, kepada Waspada Online, Senin (14/4).
Kini Butet Sitorus dan kawan-kawannya dengan matanya yang basah, masih menanti secercah cahaya agar ia bisa kembali mengaji. (wol/acm/d2)
Editor: Rizki Palepi
Discussion about this post