JAKARTA, Waspada.co.id – Pengadaan impor minyak mentah dan kondensat untuk kebutuhan kilang bersama impor BBM totalnya sekitar 1 juta barel perhari untuk memenuhi konsumsi BBM nasional tidak bisa berhenti, meskipun Kejaksaan Agung sedang menyidik dugaan penyimpangan tata kelola impor periode 2018 hingga 2023 yang untuk tahun 2023 saja kerugiannya Rp 193,7 triliun dan sudah menetapkan 9 orang sebagai tersangka.
Sebab, jika tidak dilakukan impor minyak mentah dan BBM sejumlah tersebut di atas, konsekuensinya akan terjadi kelangkaan di SPBU yang akan berpotensi terjadinya krisis sosial dan ekonomi. Bahkan jika kelangkaan berlangsung lama bisa berujung menjadi krisis politik.
“Biang keroknya produksi minyak kita di hulu anjlok terus dari tahun ke tahun, terakhir produksinya sepanjang tahun 2024 hanya sekitar 575.000 barel perhari, sementara konsumsi nasional sudah mencapai 1,5 juta barel perhari,” kata Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, dalam rilis yang diterima wartawan, Senin (24/3).
“Jadi ditangkap pun seluruh karyawan Pertamina sekitar 30 ribu orang, tidak bisa merubah bahwa kita harus mengimpor setiap harinya sekitar 1 juta barel, pahamkan? Sehingga dapat dipahami suasana kebatinan Direksi Pertamina (Persero) dan Subholding saat ini sangat galau dan trauma, ibarat buah simalakama, dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah,” tambah Yusri.
Apalagi Dirut Pertamina, Simon Aloysius Mantiri baru saja menjabat tentu saja kelimpungan menghadapi badai besar lagi menghantam kapal besar Pertamina, salah mengatasinya bisa kolaps.
Di dalam negeri muncul krisis kepercayaan publik terhadap kualitas BBM Pertamina yang dijual di SPBU, termasuk leander atau bank bank luar negeri pemberi pinjaman dalam bentuk global bond miliaran dollar Amerika kepada Pertamina pun ikut kuatir terhadap kasus yang lagi menimpa Pertamina.
“Berdasarkan informasi yang kami peroleh, jika tidak ada intervensi yang sangat kuat terhadap Kejagung, diperkirakan ada penambahan tersangka bisa mencapai 20 orang hingga 30 orang lagi terdiri dari pejabat Pertamina dan mitra usahanya, ini tak main-main,” terangnya.
“Terbaru kami mendapatkan informasi telah terjadi kebingungan di internal bagian pengadaan minyak mentah di PT Pertamina Kilang International dan pengadaan BBM di PT Pertamina Patra Niaga apakah masih menggunakan General Terms and Condition lama atau baru. Sebab jika masih menggunakan yang lama tentu konsekuensinya akan berulang lagi potensi kejadian pidana yang sedang disidik Kejagung,” jelas Yusri lagi.
Untuk itu, kaya Yusri, Kejagung seharusnya pro aktif ikut menyelamatkan Pertamina dengan memberikan rekomendasi segera kepada Dirut dan Dewan Komisaris serta Menteri BUMN agar segera menon aktifkan terhadap pejabat-pejabat di holding dan subholding yang diduga terlibat, hanya karena persoalan waktu saja untuk ditetapkan sebagai tersangka.
“Kejagung harus pastikan Pertamina tak ulangi penyimpangan saat pengadaan minyak. Hal tersebut penting untuk meminimalkan dampak negatif dari leander dan publik terhadap Pertamina sebagai entitas bisnis yang mengurus hajat hidup orangnya, ketika Kejagung akan menentukan tersangka baru. Jangan sampai terjadi tindakan Kejagung dalam menyidik kasus ini bukannya menyelamatkan kerugian negara atau Pertamina, justru menimbulkan kerugian baru bagi Pertamina,” tutupnya. (wol/rls/red/mag1)
Discussion about this post