JAKARTA, Waspada.co.id – Mempercayakan atau menyerahkan urusan kepada Allah disebut dalam bahasa Arab sebagai ‘tawakkul’ atau ‘tawakkal’. Tawakkal berasal dari kata bahasa Arab ‘wakilun’ yang berarti menyerahkan, membiarkan, serta merasa cukup.
Allah memiliki banyak nama indah. Salah satu nama Allah yang terkait dengan ‘tawakkal’ adalah Al-Wakil, yang artinya Pemberi Urusan. Alquran mengacu kepada Allah dengan sebutan Al-Wakil sebanyak 14 kali.
Beberapa ayat yang menyebut kata ‘Al-Wakil’ di antaranya:
• Dan mereka berkata: ‘Cukuplah bagi kami Allah, dan Dia adalah sebaik-baik Pemelihara Urusan’ (Alquran 3:173)
• Cukuplah Allah sebagai Pemberi Urusan (Alquran 4:81)
• Dia adalah Pemberi Segala Urusan (Pemelihara Segala Sesuatu) (Alquran 6:102)
Dengan demikian, Allah memerintahkan kita untuk bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran surat 73 ayat 9, yang berbunyi, ‘(Dialah) Tuhan Timur dan Barat, tidak ada tuhan selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung (Pemilik Urusan Kamu)’.
Demikian juga, Allah melarang manusia untuk mengandalkan atau bergantung pada ciptaan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat 17 ayat 2: ‘Dan Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) dan Kami jadikannya petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), ‘Janganlah kamu mengambil (pelindung) selain Aku’.
Kedua ayat tersebut menunjukkan mengandalkan atau bergantung kepada Allah adalah ibadah. Melalui ketakwaan dan berserah diri serta bergantung pada Allah, seorang Muslim mengekspresikan keyakinan monoteistik mereka, sebab mengarahkan segala sesuatu kepada Allah saja.
Berikut bentuk tawakal atau bergantung kepada Allah, seperti dikutip dari laman About Islam.
Empat Bentuk Tawakal pada Allah
1. Jangan keliru antara bergantung dan kemalasan
Tawakal terkadang disalah artikan sebagai orang yang santai dan berpikir masalahnya akan selesai tanpa campur tangan dirinya sendiri. Padahal, tawakal (mempercayakan kepada Allah) tidak boleh disalahartikan dengan menyerah pada upaya berpikir tantangan atau masalah kita akan teratasi begitu saja.
Sebaliknya, kita seyogyanya harus berjuang dan bersikap Allah akan memelihara urusan kita dan akan membantu kita dalam melewati cobaan. Hal itu adalah bagian dari tawakal atau bergantung pada Allah.
Berserah diri tidak berarti tidak bekerja atau melakukan sesuatu. Misalnya, seseorang enggan bekerja atau melamar pekerjaan karena berpikir bahwa urusannya akan teratasi atau rezeki akan datang sendirinya. Hal demikian bukanlah bentuk tawakal kepada Allah.
Namun, Allah telah menetapkan manusia harus bekerja dan dari jalan-Nya Allah memberi manusia ketika mereka berusaha. Karena itu, amal usaha untuk rezeki kita adalah ibadah fisik, sedangkan bertawakal kepada Allah adalah ibadah hati.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam surat 29 ayat 17, yang berbunyi: “Maka carilah rezeki dari Allah dan sembahlah Dia (saja).”
Cara lain untuk benar-benar memahami tawakal kepada Allah adalah dengan melihat apa itu iman. Iman sejatinya bukan hanya di dalam hati, tetapi itu harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Demikian pula, mengandalkan atau berserah diri pada Allah tidak berarti menyerah pada usaha kita sendiri. Melainkan berjuang dengan sikap bahwa Allah akan memelihara urusan dan membantu hamba-Nya melewati cobaan.
Seperti kisah Nabi Muhammad Saw ketika ia bertanya kepada seorang Badui. Dikisahkan, suatu hari Nabi Saw bertanya mengapa orang tersebut tidak mengikat untanya. Orang Badui itu menjawab, “Saya bertawakal kepada Allah!” Nabi kemudian berkata, “Ikatlah untamu terlebih dahulu, barulah bertawakal kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
2. Jangan sombong
Seorang Muslim seyogyanya selalu merencanakan dan bertindak berdasarkan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Manusia harus senantiasa bersyukur kepada Allah atas berkah yang diberikan-Nya, dan tidak bersikap sombong dengan kekuatan atau kemampuan pribadinya. Sebab, semua kekuatan yang dimiliki adalah dari Allah dan pada akhirnya nikmat Allah yang akan menentukan kesuksesan.
3. Menerima keputusan Allah
Setelah melakukan upaya terbaik, kita seyogyanya menerima hasilnya. Kita harus percaya Allah, dengan kebijaksanaan-Nya, dapat memutuskan menggantikan semua rencana kita dengan alasan yang hanya Allah yang tahu. Ingatkan diri bahwa beriman kepada al-Qadr (ketetapan Ilahi) adalah bagian dari rukun iman.
4. Berikhtiar terlebih dahulu
Kita cenderung mengandalkan usaha kita dan lupa mempercayakan kepada Allah atau sebaliknya, kita berpikir mengandalkan Allah dengan tidak mengambil langkah-langkah praktis untuk memecahkan masalah kita. Padahal, manusia diperintahkan melakukan segala ikhtiar sembari menyerahkan urusan tersebut kepada Allah.
Di dalam Alquran, Allah menceritakan kisah Nabi Yaqub dan putranya Yusuf. Suatu hari, ketika mengirim anak-anaknya ke Mesir, Yaqub memerintahkan mereka untuk masuk dari gerbang kota yang berbeda untuk menghindari kecurigaan, tetapi Allah berkehendak sebaliknya. Intinya, Yaqub mengambil semua tindakan yang dia bisa untuk menghindari risiko yang mungkin terjadi.
Oleh karena itu, ikhtiar terlebih dahulu diharuskan. Adapun hasilnya serahkan kepada Allah.
Bentuk tawakal ini senantiasa harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu manfaat utama dari tawakkal ialah dapat membebaskan diri dari kecemasan, kekhawatiran, dan depresi yang tidak perlu akibat berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan percaya bahwa semua urusan ada di tangan Allah dan kita hanya bisa melakukan apa yang ada di dalam kendali kita, kita menyerahkan hasilnya kepada Allah dan menerima ketetapan-Nya apapun itu. Seorang Muslim berakal yang memahami tawakal tidak akan menyerah untuk berusaha, tetapi juga tidak akan terlalu gembira dengan keberhasilan atau tertekan oleh kegagalan. (wol/republika/mrz/d1)
Discussion about this post