P. SIANTAR, Waspada.co.id – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (DPP PACS) atau Partuha Maujana Simalungun (PMS) dengan tegas mengatakan tanah di Simalungun merupakan milik tujuh kerjaaan yang ada di Simalungun.
Ketua Umum DPP/Presidium PMS Dr. Sarmedi Purba, Sp.OG didampingi DR (HC) Minten Saragih selaku Wakil Ketua, Rohdian Purba S.Si M.Si sebagai Sekretaris Eksekutif dan Japaten Purba, BNE selaku Ketua Bidang Adat dan Budaya serta Juliaman Saragih (Direktur Eksekutif NCBI/Nation and Character Building Institute) menyampaikan hal tersebut melalui konferensi pers yang digelar di Simalungun Room Siantar Hotel, Rabu (28/8) sekira pukul 11.00 WIB.
Dr. Sarmedi Purba menyebutkan terkait dengan adanya klaim berbagai pihak yang mengatasnamakan masyarakat adat dan tanah adat dalam wilayah Simalungun, maka Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (DPP PACS) atau PMS memberikan klarifikasi dan konfirmasi.
Kasus pertanahan yang terjadi dalam wilayah administratif di Kabupaten Simalungun adalah murni kasus tindak pidana dan tidak ada kaitannya dengan pengakuan sekelompok orang atas nama masyarakat adat ataupun tanah adat.
Dikatakan Dr. Sarmedi bahwa masyarakat di kerajaan-kerajaan Simalungun tidak mengenal masyarakat adat karena penduduknya terdiri dari kelompok bangsawan yang disebut Partuanon dan masyarakat petani (paruma).
Sebelumnya ada kelompok budak (jabolon) nun dihapus pemerintah kolonial Belanda pada awal penjajahan di awal abad ke-20.
Penduduk asli Simalungun terdiri dari empat kelompok marya yaitu, Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (SISADAPUR).
Selain itu, sejak kerajaan Simalungun pertama, Kerajaan Nagur yang sudah eksis sejak abad ke-8, tanah-tanah di Simalungun adalah tanah milik kerjaan yang kemudian terbagi menjadi 4 kerajaan (Raja Maroppat) yaitu, Kerajaan Tanah Jawa, Dologsilou, Panei dan Siantar.
Setelah menjadi daerah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 menjadi 7 kerajaan, ditambah Kerajaan Raya, Purba dan Silimakuta.
Sebelum Perang Dunia II (1939-1945) dan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, daerah di Kabupaten Simalungun berbentuk daerah pemerintahan otonomi Kerajaan yang disebut daerah Swapraja.
“Sekali lagi kami ingin menegaskan bahwa tidak ada dan tidak dikenal istilah masyarakat adat dan tanah adat di Simalungun, sejak abad ke-8 Masehi sampai zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya tidak ada tanah adat di daerah Kabupaten Simalungun, dari dulu sampai sekarang,” tegas Dr Sarmedi Purba.
Melalui konfirmasi pers ini, Dr Sarmedi berharap dapat menjadi saran dan masukan dalam kebijakan pemerintah dan pencerahan terhadap kelompok-kelompok lembaga sosial kemasyarakatan khusus terkait fakta dan sejarah Tanah Habonaron Do Bona.
Kegiatan diisi dengan sesi tanya jawab terkait adanya kelompok masyarakat di wilayah Simalungun yang mengklaim kepemilikan tanah adat.
Perwakilan Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (HIMAPSI) Dedi Damanik dalam sambutannya juga menegaskan bahwa Simalungun tidak memiliki tanah adat. (wol/azr/d2)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post