Oleh:
Prof. Dr. Maidin Gultom, S.H., M.Hum.
Waspada.co.id – Asas Dominus Litis adalah prinsip hukum yang memberikan kewenangan penuh kepada jaksa sebagai pengendali utama dalam proses penanganan perkara pidana, mulai dari tahap penyidikan hingga eksekusi putusan. Dominus Litis (bahasa Latin: “tuan dari perkara”) merupakan prinsip hukum yang menegaskan bahwa pihak tertentu memiliki kendali penuh atas proses litigasi.
Dalam konteks hukum acara pidana, asas ini umumnya melekat pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai pemegang otoritas utama untuk mengendalikan jalannya penuntutan, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga upaya hukum. Prinsip ini bertujuan menjamin kepastian hukum dan efektivitas penegakan keadilan, dengan menempatkan JPU sebagai “penguasa perkara” yang bertanggung jawab atas keputusan strategis dalam proses hukum.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur melalui UU Nomor 8 Tahun 1981, asas Dominus Litis tercermin dalam beberapa ketentuan: Berkaitan dengan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 14 KUHAP) yang menentukan bahwa JPU berwenang mengarahkan penyidikan oleh penyidik (kepolisian) dan memutuskan apakah suatu kasus layak dilimpahkan ke pengadilan. Berkaitan dengan Pemberhentian Penuntutan (Pasal 140 KUHAP) yang menentukan bahwa JPU memiliki hak absolut untuk menghentikan penuntutan (deponering) berdasarkan alasan hukum atau kebijakan (opportuniteitsbeginsel). Berkaitan dengan Upaya Hukum (Pasal 244 KUHAP) ditentukan bahwa JPU berwenang mengajukan kasasi atau peninjauan kembali (PK), mencerminkan kontrol atas proses hukum setelah putusan pengadilan.
Dapat ditegaskan bahwa JPU tidak hanya bertindak sebagai pihak penuntut, tetapi juga sebagai “guardian of public interest” yang wajib memastikan proses hukum berjalan adil dan efisien. Dalam konteks sistem peradilan pidana, jaksa memiliki peran sentral dalam menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan. Akibatnya, peran jaksa sebagai pengendali perkara sering kali terbatas, terutama dalam melakukan supervisi terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, yang berdampak pada efektivitas penanganan perkara pidana.
Dalam upaya pembaruan hukum acara pidana, Rancangan KUHAP (RKUHAP) mengusulkan penguatan peran jaksa sebagai Dominus Litis. Salah satu langkah yang diusulkan adalah keterlibatan jaksa sejak tahap awal penyidikan, sehingga jaksa dapat memberikan arahan dan supervisi kepada penyidik. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penegakan hukum, serta mengurangi kemungkinan bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum. Selain itu, RKUHAP juga mengatur kewenangan jaksa untuk menghentikan penuntutan demi kepentingan umum atau dengan alasan tertentu. Langkah ini sejalan dengan penerapan keadilan restoratif, di mana jaksa memiliki peran penting dalam menentukan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi atau mekanisme lainnya yang bertujuan memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Namun, implementasi asas Dominus Litis dalam RKUHAP juga menghadapi tantangan, terutama terkait dengan penyesuaian peran dan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan. Diperlukan sinergi dan koordinasi yang baik antara kedua lembaga ini untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan secara efektif dan efisien, serta menghindari tumpang tindih kewenangan yang dapat menghambat proses peradilan. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang sedang dibahas DPR RI dan pemerintah bertujuan mereformasi sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam draf terbaru, asas Dominus Litis tetap dipertahankan tetapi dengan beberapa penyesuaian untuk memperkuat akuntabilitas dan perlindungan hak tersangka/korban. Seperti Pembatasan Kewenangan Deponering (Pasal 179 RUU KUHAP) ditentukan bahwa Meski JPU tetap berwenang menghentikan penuntutan, RUU memperketat syarat deponering dengan mewajibkan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan transparansi.
Bila disimak dengan seksama Dominus Litis dapat menimbulkan ketimpangan jika JPU memiliki kewenangan terlalu luas tanpa checks and balances. Misalnya, hakim tidak dapat memaksa JPU melanjutkan penuntutan yang dihentikan tanpa alasan jelas. Dapat terjadi Risiko Abuse of Power dimana kewenangan deponering yang tidak transparan berpotensi digunakan untuk melindungi kepentingan politik atau koruptor.
Reformasi dalam RUU KUHAP berupaya memitigasi risiko ini melalui mekanisme persetujuan pengadilan. Kemudian ada kemungkinan terjadinya ketegangan dengan Hak Tersangka/Korban. Meski RUU memperkuat hak korban, dominasi JPU tetap berpotensi mengabaikan suara korban dalam kasus tertentu, seperti kekerasan seksual atau korupsi. Mengantisipasi hal-hal ini diatur tentang Peran Korban dalam Proses Hukum (Pasal 98 RUU KUHAP) ditentukan bahwa Korban atau ahli warisnya diberi hak mengajukan keberatan (revisi) terhadap keputusan JPU untuk menghentikan penuntutan. Ini mengakomodasi prinsip keadilan restoratif dan mengurangi dominasi mutlak JPU. Kemudian perlu Penguatan Pengawasan Lembaga Yudisial, dimana RUU mengatur mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial dan Ombudsman terhadap kinerja JPU, terutama dalam kasus yang melibatkan pelanggaran HAM berat atau kepentingan publik di samping itu diatur Integrasi Asas Dominus Litis dengan Sistem Elektronik. RUU mengatur penggunaan teknologi informasi dalam pelaporan dan pelacakan proses hukum untuk meningkatkan transparansi kewenangan JPU (Pasal 72 RUU KUHAP).
*Guru Besar Hukum Pidana- Rektor Unika
Discussion about this post