Kasus Sorbatua Siallagan
Sebagaimana diberitakan di berbagai media, Pengadilan Negeri (PN) Simalungun telah menghukum terdakwa Sorbatua Siallagan (65) dengan pidana selama dua tahun dan denda Rp2 miliar subsider enam bulan kurungan pada Rabu (14/7) pekan lalu.
Sorbatua yang merupakan tetua adat Ompu Umbak Siallagan, didakwa menduduki kawasan hutan negara di Hutan Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
Izin konsesi wilayah itu dipegang oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).
“Selaku penasihat hukum dan juga keluarga, kecewa, meski kami menghormati putusan itu. Tapi pada prinsipnya kami kecewa,” kata Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara, Hendra Sinurat, mengutip VOA, Selasa (20/8).
Kawasan yang dikelola oleh Sorbatua itu merupakan wilayah adat Ompu Umbak Siallagan dan dikelola keturunannya selama 11 generasi.
Namun majelis hakim tetap berpendirian jika Sorbatua telah bersalah, karena klaimnya atas tanah ulayat tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Status tanah ulayat yang dimohon oleh Sorbatua masih sebatas usulan.
Kini, Sorbatua telah mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Medan, Jumat (16/8), melalui PN Simalungun. Hendra mengatakan upaya banding itu ditempuh lantaran pihaknya masih yakin jika Sorbatua tak bersalah atas apa yang dilakukannya di tanah adatnya sendiri.
Bahkan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyebut penangkapan Sorbatua adalah bentuk ‘kriminalisasi’ atas klaim masyarakat terhadap tanah adat mereka.
Tidak Ada Tanah Adat di Simalungun
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (DPP PACS) atau Partuha Maujana Simalungun (PMS) dengan tegas mengatakan tanah di Simalungun merupakan milik tujuh kerjaaan yang ada di Simalungun.
Ketua Umum DPP/Presidium PMS Dr. Sarmedi Purba, Sp.OG didampingi DR (HC) Minten Saragih selaku Wakil Ketua, Rohdian Purba S.Si M.Si sebagai Sekretaris Eksekutif dan Japaten Purba, BNE selaku Ketua Bidang Adat dan Budaya serta Juliaman Saragih (Direktur Eksekutif NCBI/Nation and Character Building Institute) menyampaikan hal tersebut melalui konferensi pers yang digelar di Simalungun Room Siantar Hotel, Rabu (28/8) kemarin.
Dr. Sarmedi Purba menyebutkan terkait dengan adanya klaim berbagai pihak yang mengatasnamakan masyarakat adat dan tanah adat dalam wilayah Simalungun, maka Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (DPP PACS) atau PMS memberikan klarifikasi dan konfirmasi.
Kasus pertanahan yang terjadi dalam wilayah administratif di Kabupaten Simalungun adalah murni kasus tindak pidana dan tidak ada kaitannya dengan pengakuan sekelompok orang atas nama masyarakat adat ataupun tanah adat.
Dikatakan Dr. Sarmedi bahwa masyarakat di kerajaan-kerajaan Simalungun tidak mengenal masyarakat adat karena penduduknya terdiri dari kelompok bangsawan yang disebut Partuanon dan masyarakat petani (paruma).
Sebelumnya ada kelompok budak (jabolon) nun dihapus pemerintah kolonial Belanda pada awal penjajahan di awal abad ke-20.
Penduduk asli Simalungun terdiri dari empat kelompok marya yaitu, Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (SISADAPUR).
Selain itu, sejak kerajaan Simalungun pertama, Kerajaan Nagur yang sudah eksis sejak abad ke-8, tanah-tanah di Simalungun adalah tanah milik kerjaan yang kemudian terbagi menjadi 4 kerajaan (Raja Maroppat) yaitu, Kerajaan Tanah Jawa, Dologsilou, Panei dan Siantar.
Setelah menjadi daerah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 menjadi 7 kerajaan, ditambah Kerajaan Raya, Purba dan Silimakuta.
Sebelum Perang Dunia II (1939-1945) dan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, daerah di Kabupaten Simalungun berbentuk daerah pemerintahan otonomi Kerajaan yang disebut daerah Swapraja.
“Sekali lagi kami ingin menegaskan bahwa tidak ada dan tidak dikenal istilah masyarakat adat dan tanah adat di Simalungun, sejak abad ke-8 Masehi sampai zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Discussion about this post